Thursday 8 November 2012

Pergeseran Bahasa Indonesia di Era Global dan Implikasinya terhadap Pembelajaran

0

Pergeseran Bahasa Indonesia di Era Global dan Implikasinya terhadap Pembelajaran


                     Arus global tanpa kita sadari berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa Indonesia di masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, facebook misalnya, memberi banyak perubahan bagi sturktur bahasa Indonesia yang oleh beberapa pihak disinyalir merusak bahasa itu sendiriBahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus disikapi bersama termasuk dalam pengajarannya. Di era global dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seharusnya bisa kita manfaatkan dalam pemertahanan bahasa Indonesia. Salah satunya dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information, Communication and Technology). Pemanfaatan ICT sudah menjadi keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi misalnya dengan memanfaatkan ICT sebagai alat bantu pembelajaran bahasa Indonesia.
Kata kunci: pergeseran bahasa, era global, pembelajaran bahasa Indonesia
PENDAHULUAN
Dewasa ini kita hidup dalam era globalisasi, yang dipicu oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di bidang transportasi dan revolusi di bidang komunikasi. Dengan perkembangan yang sangat cepat di bidang transportasi dan komunikasi, arus globalisasi terasa bertambah kuat, sehingga dunia terasa makin datar (Thomas Friedman, 2005). Akibat derasnya arus globalisasi batas negara menjadi kabur dan akhirnya hilang. Tekanan arus globalisasi yang melanda bangsa-bangsa yang sedang berkembang menimbulkan perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai wilayah kehidupan. Globalisasi akan meningkatkan pemahaman antarbudaya, memecah batas antara masyarakat dari negara yang berbeda seiring dengan berkembangnya kemitraan dalam berdagang antarnegara. Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian besar orang menafsirkan sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah desa kecil, setiap orang bisa berkomunikasi dengan sangat mudah, berhubungan dengan waktu yang singkat, dan dengan biaya yang relatif rendah. Globalisasi adalah akibat dari revolusi teknologi, komunikasi, dan informasi yang dapat berimbas pada tatanan masyarakat, bangsa, dan negara di berbagai belahan dunia. Setiap bangsa di dunia tidak dapat melepaskan diri dari arus global akibat revolusi tersebut. Dengan kondisi seperti itu, persaingan antarwilayah pun semakin tinggi. Siapa yang menguasai komunikasi dialah yang akan menguasai dunia. Bahasa merupakan alat komunikasi di dunia. Oleh karena itu, eksistensinya di tengah arus global harus dicermati.
Arus global berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa Indonesia di masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, internet, facebookmisalnya, memberi banyak perubahan bagi sturktur bahasa Indonesia yang oleh beberapa pihak disinyalir merusak bahasa itu sendiri. Berlandaskan alasan globalisasi dan prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa nasional. Tidak hanya pada rakyat kecil, ‘krisis bahasa’ juga ditemukan pada para pejabat negara. Kurang intelek katanya kalau dalam setiap ucapan tidak dibumbui selingan bahasa asing yang sebenarnya tidak perlu. Hal tersebut memunculkan istilah baru, yaitu ‘Indoglish’ kependekan dari ‘Indonesian-English’ untuk fenomena bahasa yang kian menghantam bahasa Indonesia. Sulit dipungkiri memang, bahasa asing kini telah menjamur penggunaannya. Mulai dari judul film, judul buku, judul lagu, sampai pemberian nama merk produk dalam negeri. Kita pun merasa lebih bangga jika lancar dalam berbicara bahasa asing. Namun, apapun alasannya, entah itu menjaga prestise, mengikuti perkembangan zaman, ataupun untuk meraup keuntungan, tanpa kita sadari secara perlahan kita telah ikut andil dalam mengikis kepribadian dan jati diri bangsa kita sendiri.
Sekarang ini penggunaan penggunaan bentuk ‘Inggris’ sudah banyak menggejala. Dalam bidang internet dan komputer kita banyak menggunakan kata mendownload, mengupload, mengupdate, dienter, direlease, didiscount, dan lain sebagainya. Tidak hanya dalam bidang komputer saja, di bidang lain pun sering kita jumpai. Selain bahasa Asing, kedudukan bahasa Indonesia juga semakin terdesak dengan pemakain bahasa-bahasa gaul di kalangan remaja. Bahasa gaul ini sering kita temukan dalam pesan singkat atau sms, chatting, dan sejenisnya. Misalnya dalam kalimat’gue gitu loh..pa sich yg ga bs’ dalam kalimat tersebut penggunaan kata ganti aku tidak dipakai lagi.

PEMBAHASAN
Pergeseran Bahasa Indonesia
Fenomena di atas dapat mengakibatkan pergeseran bahasa Indonesia. Fenomena pemertahanan dan pergeseran bahasa sebenarnya telah ada sejak bahasa-bahasa itu mulai mengadakan kontak dengan bahasa lainnya (Grosjean 1982). Kontak antardua suku atau suku bangsa yang masing-masing membawa bahasanya sendiri-sendiri lambat laun mengakibtakan terjadinya persaingan kebahasaan. Pada umumnya, di dalam persaingan kebahasaan terjadi fenomena-fenomena kebahasaan yang diawali dengan kedwibahsaan, diglosia, alih kode/campur kode, interferensi, dan akhirnya permertahanan dan pergeseran bahasa. Jika satu bahasa lebih dominan, lebih berprestise, atau lebih modern atau bahkan mungkin lebih “superior” daripada bahasa lain, bahasa tersebut dipastikan dapat bertahan, sedangkan lainnya dalam beberapa generasi akan ditinggalkan oleh penuturnya. Tidak jarang bahasa yang ditelantarkan oleh penuturnya itu lambat laun mengakibatkan kematian bahasa (Dorian 1982).
Dalam kepustakaan sosiolinguistik, pemertahanan dan pergeseran bahasa merupakan fenomena yang menarik. Terminologi pemertahanan dan pergeseran bahasa pertama kali diperkenalkan oleh Fishman pada tahun 1964 yang selanjutnya dikembangkan oleh Susan Gal (1979) yang meneliti masalah pilihan dan pergeseran bahasa di Oberwart, Austria timur, dan Nancy Dorian (1981) yang mengkaji pergeseran bahasa Gaelik oleh bahasa Inggris di Sutherland Timur, Britania bagian utara. Pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa erat kaitannya dengan ranah yang berkaitan dengan pilihan bahasa dan kewibahasaan.
Kajian pemertahanan dan pergeseran bahasa perlu dikaitkan dengan konsep pemilihan bahasa. Pemahaman tentang pilihan bahasa dalam ranah yang dihubungkan dengan konsep diglosia di atas sangat penting artinya karena dengan begitu pemertahanan dan kebocoran diglosia yang menyebabkan pergeseran bahasa dapat dilihat. Pemertahanan dan pergeseran bahasa serta kepunahan suatu bahasa bertitik-tolak dari kontak dua bahasa dalam suatu masyarakat. Gejala kepunahan bahasa akan tampak dalam proses yang cukup panjang. Mula-mula tiap-tiap bahasa masih dapat mempertahankan pemakaiannya pada ranah masing-masing. Kemudian pada suatu masa transisi masyarakat tersebut menjadi dwibahasawan sebagai suatu tahapan sebelum kepunahan bahasa aslinya (BI) dan dalam jangka waktu beberapa generasi mereka bertrasformasi menjadi masyarakat ekabahasawan kembali. Dengan demikian, pergeseran bahasa mencakup pertama-pertama kedwibahasaan (seringkali bersama diglosia) sebagai suatu tahapan menuju keekabahasaan (BI yang baru).
Demikian pula halnya dengan pemertahanan/pergeseran bahasa, ada aspek-aspek sosial psikologis pendukung suatu bahasa yang dapat diandalkan guna menangkis serangan pemakaian bahasa dari luar atau paling tidak dapat memperkuat basis perlawanan terhadap musuh.
Ada banyak faktor yang menyebabkan pergeseran dan kepunahan suatu bahasa. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di dunia, faktor-faktor tersebut seperti loyalitas bahasa, konsentrasi wilayah pemukiman penutur, pemakaian bahasa pada ranah tradisional sehari-hari, kesinambungan peralihan bahasa-ibu antargenerasi, pola-pola kedwibahasaan, mobilitas sosial, sikap bahasa dan lain-lain. Menurut Romaine (1989) faktor-faktor itu juga dapat berupa kekuatan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kelas sosial, latar belakang agama dan pendidikan, hubungan dengan tanah leluhur atau asal, tingkat kemiripan antara bahasa mayoritas dengan bahasa minoritas, sikap kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, perkawinan campur, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa dan pendidikan kelompok minoritas, serta pola pemakaian bahasa.
Sesungguhnya, terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pemertahanan dan pergeseran bahasa di masyarakat. Namun, faktor-faktor itu bervariasi antarsatu wilayah dengan wilayah lainnya. Faktor-faktor penyebab terjadinya kasus pergeseran bahasa di Oberwart-Austria berbeda dari faktor-faktor penyebab atas kasus yang sama di Sutherland-Scotlandia ataupun kasus pergeseran dan pemertahanan bahasa Lampung di Lampung. Grosjean (1982:107) mengelompokkan faktor-faktor itu ke dalam lima faktor: sosial, sikap, pemakaian, bahasa, kebijakan pemerintah, dan faktor-faktor lain. Adanya pola-pola sosial dan budaya yang beragam dalam suatu masyarakat ikut menentukan identitas sosial dan keanggotaan kelompok sosialnya, faktor-faktor sosial itu meliputi  status sosial, kedudukan sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan atau jabatan, serta keanggotaan seseorang dalam suatu jaringan sosial.

Sikap Bahasa
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus disikapi bersama termasuk dalam pengajarannya. Bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai alat komunikasi mempunyai peran sebagai penyampai informasi. Kebenaran berbahasa akan berpengaruh terhadap kebenaran informasi yang disampaikan. Berbagai fenomena yang berdampak buruk pada kebenaran berbahasa yang disesuaikan dengan kaidahnya, dalam hal ini berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Globalisasi memang tidak dapat dihindari. Akulturasi bahasa nasional dengan bahasa dunia pun menjadi lebih terasa perannya. Menguasai bahasa dunia dinilai sangat penting agar dapat bertahan di era modern ini. Namun sangat disayangkan jika masyarakat menelan mentah-mentah setiap istilah-istilah asing yang masuk dalam bahasa Indonesia. Ada baiknya jika dipikirkan dulu penggunaannya yang tepat dalam setiap konteks kalimat. Sehingga penyusupan istilah-istilah tersebut tidak terlalu merusak tatanan bahasa nasional.

Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada kondisi tertentu, yaitu pada situasi formal penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama. Penggunaan bahasa seperti ini sering menggunakan bahasa baku. Kendala yang harus dihindari dalam pemakaian bahasa baku antara lain disebabkan oleh adanya gejala bahasa seperti interferensi, integrasi, campur kode, alih kode dan bahasa gaul yang tanpa disadari sering digunakan dalam komunikasi resmi. Hal ini mengakibatkan bahasa yang digunakan menjadi tidak baik.
Berbahasa yang baik yang menempatkan pada kondisi tidak resmi atau pada pembicaraan santai tidak mengikat kaidah bahasa di dalamnya. Ragam berbahasa seperti ini memungkinkan munculnya gejala bahasa baik interferensi, integrasi, campur kode, alih kode maupun bahasa gaul. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari adanya interaksi dan komunikasi antarsesamanya. Bahasa sebagai sarana komunikasi mempunyai fungsi utama bahasa adalah bahwa komunikasi ialah penyampaian pesan atau makna oleh seseorang kepada orang lain. Keterikatan dan keterkaitan bahasa dengan manusia menyebabkan bahasa tidak tetap dan selalu berubah seiring perubahan kegaiatan manusia dalam kehidupannya di masyarakat.
Perubahan bahasa dapat terjadi bukan hanya berupa pengembangan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat. Berbagai alasan sosial dan politis menyebabkan banyak orang meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi menggunakan bahasa lain. Dalam perkembangan masyarakat modern saat ini, masyarakat Indonesia cenderung lebih senang dan merasa lebih intelek untuk menggunakan bahasa asing. Hal tersebut memberikan dampak terhadap pertumbuhan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Bahasa Inggris yang telah menjadi raja sebagai bahasa internasional terkadang memberi dampak buruk pada perkembangan bahasa Indonesia. Kepopuleran bahasa Inggris menjadikan bahasa Indonesia tergeser pada tingkat pemakaiannya.
Berbagai penyebab pergeseran pemakaian bahasa Indonesia, tidak hanya disebabkan oleh bahasa asing tetapi juga disebabkan oleh adanya interferensi bahasa daerah dan pengaruh bahasa gaul. Dewasa ini bahasa asing lebih sering digunakan daripada bahasa Indonesia hampir di semua sektor kehidupan. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia lebih sering menempel ungkapan “No Smoking” daripada “Dilarang Merokok”, “Stop” untuk “berhenti”, “Exit” untuk “keluar”, “Open House” untuk penerimaan tamu di rumah pada saat lebaran, dan masih banyak contoh lain yang mengidentifikasikan bahwa masyarakat Indonesia lebih menganggap bahasa asing lebih memiliki nilai. Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa gaul yang digunakan oleh sebagian masyarakat modern, perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.
Dunia pendidikan yang syarat pembelajaran dengan media bahasa menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi yang primer. Sejalan dengan hal tersebut, bahasa baku merupakan simbol dalam dunia pendidikan dan cendekiawan. Penguasaan Bahasa Indonesia yang maksimal dapat dicapai jika fundasinya diletakkan dengan kokoh di rumah dan di sekolah mulai TK (Taman Kanak-kanak) sampai PT (Perguruan Tinggi). Akan tetapi, fundasi ini pada umumnya tidak tercapai. Di berbagai daerah, situasi kedwibahasaan merupakan kendala. Para guru kurang menguasai prinsip-prinsip perkembangan bahasa anak sehingga kurang mampu memberikan pelajaran bahasa Indonesia yang serasi dan efektif.
Rusyana (1984:152) menyatakan bahwa dalam membina masyarakat akademik, penggunaan bahasa yang tidak baik dan tidak benar akan menimbulkan masalah. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dianggap mempunyai peranan dalam menuju arah pembangunan masyarakat akademik idaman.
Kurangnya pemahaman terhadap variasi pemakaian bahasa berimbas pada kesalahan penerapan berbahasa. Secara umum dan nyata perlu adanya kesesuaian antara bahasa yang dipakai dengan tempat berbahasa. Tolok ukur variasi pemakaian bahasa adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan parameter situasi. Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma yang berlaku dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia (Sugono, 1994: 8).
a. Bahasa Indonesia yang baik
Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya, dalam situasi santai dan akrab, seperti di warung kopi, pasar, di tempat arisan, dan di lapangan sepak bola hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang tidak terlalu terikat pada patokan. Dalam situasi formal seperti kuliah, seminar, dan pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang resmi dan formal yang selalu memperhatikan norma bahasa.
b. Bahasa Indonesia yang benar
Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa itu meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, kaidah penyusunan paragraf, dan kaidah penataan penalaran. Jika kaidah ejaan digunakan dengan cermat, kaidah pembentukan kata ditaati secara konsisten, pemakaian bahasa dikatakan benar. Sebaliknya jika kaidah-kaidah bahasa kurang ditaati, pemakaian bahasa tersebut dianggap tidak benar atau tidak baku.
Hymes (1974) dalam Chaer (1994:63) mengatakan bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni :
a) Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Contohnya, percakapan yang terjadi di kantin sekolah pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang terjadi di kelas ketika pelajaran berlangsung.
b) Participants, yaitu orang- orang yang terlibat dalam percakapan. Contohnya, antara karyawan dengan pimpinan. Percakapan antara karyawan dan pimpinan ini tentu berbeda kalau partisipannya bukan karyawan dan pimpinan, melainkan antara karyawan dengan karyawan.
c) Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan. Misalnya, seorang guru bertujuan menerangkan pelajaran bahasa Indonesia secara menarik, tetapi hasilnya sebaliknya, murid-murid bosan karena mereka tidak berminat dengan pelajaran bahasa.
d) Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan.
e) Key, yaitu menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan.
f) Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan.
g) Norm, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.
h) Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Sebenarnya apabila kita mendalami bahasa menurut fungsinya yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, maka bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama dan utama di negara Republik Indonesia.
Bahasa daerah yang berada dalam wilayah republik bertugas sebagai penunjang bahasa nasional, sumber bahan pengembangan bahasa nasional, dan bahasa pengantar pembantu pada tingkat permulaan di sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain. Jadi, bahasa-bahasa daerah ini secara sosial politik merupakan bahasa kedua.
Selain bahasa daerah, bahasa-bahasa lain seperti bahasa Cina, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Jerman, dan bahasa Perancis berkedudukan sebagai bahasa asing. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa terebut bertugas sebagai sarana perhubungan antarbangsa, sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia, dan alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan nasional. Jadi, bahasa-bahasa asing ini merupakan bahasa ketiga di dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Implementasi terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia
  1. Inovasi Pembelajaran Berbasis ICT (Information, Communication and Technology)
Di era global dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seharusnya bisa kita manfaatkan dalam pemertahanan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information, Communication and Technology). Pemanfaatan ICT untuk pendidikan sudah menjadi keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.  Berbagai aplikasi ICT sudah tersedia dalam masyarakat dan sudah siap menanti untuk dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan pendidikan. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk sesuai dengan fungsinya dalam pendidikan. Menurut Indrajut (2004), fungsi teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan dapat dibagi menjadi tujuh fungsi, yakni: (1) sebagai gudang ilmu, (2) sebagai alat bantu pembelajaran, (3) sebagai fasilitas pendidikan, (4) sebagai standar kompetensi, (5) sebagai penunjang administrasi, (6) sebagai alat bantu manajemen sekolah, dan (7) sebagai infrastruktur pendidikan.
Merujuk pada ketujuh fungsi tersebut dapat dipahami bahwa ICT dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya dalam dunia pendidikan. Maka dari itu, perlu adanya pemanfaatan ICT dalam dunia pendidikan, aplikasi nyata dalam dunia pendidikan misalnya dengan memanfaatkan ICT sebagai alat bantu pembelajaran bahasa Indonesia. Pemanfaatan ICT dalam pembelajaran bahasa misalnya dengan memanfaatkan blog sebagai wadah kreatifitas siswa dalam meningkatkan kemampuan menulisnya. Selain itu, penggunaan media pembelajaran yang berbasis ICT akan memudahkan siswa dalam menerima dan memahami pelajaran yang disampaikan.

  1. Pembelajaran Bahasa pada Ranah Multikultural
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Ditambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya. Oleh karena itu perlu dikembangkan pendidikan yang berbasis multikultur.
Asy’arie (2003) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Blum dalam Sparingga (2003) mengatakan bahwa ada empat nilai yang berbeda namun saling berhubungan dalam pendidikan untuk masyarakat multikultural, yaitu antirasisme, multikulturalisme, komunitas antar-ras, dan penghargaan terhadap manusia sebagai individu.
Dalam era global pembelajaran bahasa Indonesia dalam konteks multikultur sangat perlu diterapkan. Pembelajaran bahasa Indonesia pada masyarakat Indonesia yang multikultur sudah seharusnya dilaksanakan dengan pembelajaran yang berbasis multikultur. Selain itu, pembelajaran bahasa dengan memanfaatkan kearifan lokal akan lebih bermakna dan dapat melestarikan budaya Indonesia.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini dapat ditarik simpulan bahwa era global dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap eksistensi bahasa Indonesia. Namun demikian, dengan kemajuan teknologi seharusnya bisa kita manfaatkan dalam pemertahanan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information, Communication and Technology). Selain itu, karena masyarakat Indonesia yang multikultur pembelajaran bahasa Indonesia berbasis multikultur menjadi penting untuk diterapkan.

Read More

Pembelajaran Bahasa dengan ICT

0

  1. Dengan ICT, Pembelajaran Terasa Lebih Menyenangkan dan Bermakna

  2. A. Latar Belakang Penelitian
Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi.Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan. Pembelajaran bahasa,  selain untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar juga meningkatkan kemampuan memperluas wawasan. Siswa tidak hanya diharapkan mampu memahami informasi yang disampaikan secara lugas atau langsung tetapi juga dapat memahami informasi yang disampaikan secara terselubung atau tidak secaralangsung.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sesuai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya SMP tertuang dalam silabus. Penyusunan silabus mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai sarana komunikasi dan pendekatan pembelajaran, terbagi ke dalam empat keterampilan, yaitu aspek mendengarkan, berbicara , membaca dan menulis serta terbagi dalam kemampuan kebahasaan dan kesastraan. Keempat aspek itu merupakan aspek yang terintegrasi dalam pembelajarn walaupun dalam silabus keempat aspek tersebut masih dapat dipisahkan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh  Tarigan, bahwa :
Keterampilan berbahasa mencakup empat komponen, yaitu :
(1)   Keterampilan menyimak/mendengarkan (listening skills)
(2)   Keterampilan berbicara (speaking skills)
(3)   Keterampilan membaca (reading skills)
(4)   Keterampilan menulis (writing skills)[1]
Terdapat hubungan yang erat dari setiap aspek keterampilan tersebut dengan ketiga keterampilan, yaitu menulis.Penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa yang menjadi isi karangan sangat dibutuhkan dalam kemampuan menulis, khususnya menulis cerpen.
Keberadaan pengajaran bahasa, khususnya pengajaran keterampilan menulis sangat penting karena saat ini dana masa yang akan datang setiap siswa dituntut untuk dapat mengkomunikasikan setiap ide dan pikiran dalam mengimbangi kemajuan informasi dan teknologi. Untuk mencapai harapan tersebutselayaknya proses belajar mengajar keterampilan menulis dilaksanakan dengan menggunakan suatu model mengajar yang sesuai.
Dahlan mengemukakan bahwa Proses mengajar yang bermutu dapat dicapai, apabila penyelenggaraannya berlangsung secara benar yang  ditandai adanya hubungan edukatif yang baik anatara pendidik dengan anak didik, metode pendidikan yang sesuai, sarana dan perlengkapan pendidikan yang memadai dan adanya suasana belajar dan mengajar yang baik sehingga proses transformasi nilai dapat berlangsung secara tenang dan wajar.[2]
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa persoalan penting dalam proses mengajar adalah menciptakan proses belajar mengajar yang melibatkan diri siswa. Siswa harus ikut berperan menciptakan suasana belajar yang kondusif dengan guru dan temannya. Siswa jangan hanya menerima semua materi yang diberikan oleh guru, tapi harus aktif mencari informasi-informasi lain sebagai bekal membentuk pribadi mereka di masa depan dan hal ini relevan dengan pendidikan berkarakter. Untuk itu setiap guru harus dapat memberikan motivasi pada siswa sehingga siswa bersemangat dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran merupakan proses interaksi antara pesrta didik dengan guru sebagai pengajar, proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan paedagogik yang mencakup strategi maupun metode mengajar. Proses pembelajaran tentu saja tidak terlepas dari kurikulum yang memuat perangkat materi pembelajaran yang tertuang pada standar kompetensi dan kompetensi dasar pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Hal tersebut diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh  Nurhadi dalam E. Mulyasa bahwa dalam konteks pembaharuan pendidikan, ada tiga isu utama yang perlu disoroti yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektifitas metode pembelajaran.[3]
Persoalan lain dalam pelaksanaan proses belajar mengajar adalah apa upaya guru untuk memperbaiki serta meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar sehingga dapat emningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa. Salah satu upaya guru untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif dan meyenangkan bagi siswa adalah memilih model pemebelajaran.
Untuk menyikapi masalah tersebut, maka diperlukan kreativitas guru bahasa Indonesia dalam mencari metode yang tepat untuk menyiasati agar pembelajaran menulis, khususnya menulis cerpen menjadi pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Banyak metode yang telah ditawarkan oleh para pakar pendidikan.Maka bukanlah hal yang sulit bila guru berani mengambil langkah untuk selektif memilih metode yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan siswa dan perkembangan pola pikir mereka yang lebih mandiri.
Selama ini, kebanyakan guru bahasa Indonesia lebih sering dan banyak menggunakan metode konvensional dalam pelaksanaan pembelajaran, khususnya pembelajaran menulis cerpen. Sumber materi  diperoleh dari buku teks atau paket, atau bahkan LKS yang telah disediakan sekolah. Pada pelaksaan pembelajaran menulis, khususnya menulis cerpen dengan metode konvensional, guru lebih banyak mendominasi, sementara siswa terkesan pasif dan hanya mendengar dan menerima yang diperintahkan oleh guru. Kalimat perintah, seperti buka halaman sekian, baca dalam hati kemudian  perhatikan baik-baik penjelasan guru tentang materi menulis, khususnya menulis cerpen sudah terbiasa didengar oleh siswa pada pelajaran lain atau pelajaran bahasa Indonesia sendiri. Tentu saja, hal ini menjadikan siswa bosan dan makin menurunkan minat menulis  mereka. Terlebih lagi, guru tidak menyadarinya selama ini, dan terus saja berlangsung tanpa solusi yang pasti.
Dari sumber bacaan yang diperoleh melalui buku teks atau paket, banyak materi yang disajikan terkesan membebani siswa dan bahkan mempengaruhi siswa enggan untuk memulai menulis karena mereka menganggap sangat sulit mengurai kata-kata yang telah terkumpul dalam benak mereka.Maka lengkaplah bila siswa merasa makin terkurung oleh doktrin guru pada metode pembelajaran yang konvensional. Siswa merasa yang dilakukannya pada proses pembelajaran secara terpaksa sebagai objek bukan sebagai subjek.
Sebenarnya sudah banyak model pembelajaran yang ditawarkan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Salah satu model pembelajaran sesuai dengan harapan yang diuraikan di atas, yaitu model pembelajaran kooperatif Jigsaw. Pada Teknik mengajar dengan menggunakan metode jigsaw ini telah dikembangkan oleh Aronson et al., sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Teknik ini mengabungkan kegiatan membaca , mendengarkan, ataupun berbicara. Pendekatan ini bisa pula digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa. Teknik ini cocok untuk semua kelas/ tingkatan.Untuk itu penulis tertarik menggunakan model pembelajaran dengan metodekooperatif jigsaw pada proses pembelajaran menulis cerpen.
Model pembelajaran kooperatif  jigsawyaitu model yang melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar sehingga siswa dapat bekerja sama secara kolaboratif dengan temannya. Pada model ini siswa dibiasakan bisa bekerja sama dan  berdiskusi dengan temannya tntang bagaimana menulis cerpen dengan benar. Jigsaw salah satu tipe model pembelajaran yang sangat fleksibel (cocok untuk semua kelas dan tingkatan).
Dengan metode ini guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan schemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna.Siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.Lebih jelasnya lagi bahwaModel jigsaw adalah teknik pembelajaran kooperatif di mana siswa, bukan guru, yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran. Tujuan dari jigsaw ini adalah mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian.
Dengan demikian model jigsaw merupakan model yang dapat meningkatakan kemampuan menulis siswa, khususnya menulis cerpen .siswa bekerja sama dengan temannya dalam upaya meningkatkan kemampuan menulis, khususnya menulis cerpen. Setiap siswa diharapakan dapat menghasilkan suatu tulisan berbentuk cerpen yang sesuai dengan tujuan standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD) maupun indikator yang tertuang dalam silabus.

B. Identifikasi Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan beberapa masalah dalam penelitian ini, yaitu :
  1. Mengapa kemampuan menulis siswa masih rendah ?
  2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemampuan membaca siswa rendah?
  3. Model apa yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa ?
  4. Apakah model kooperatif jigsaw dapat meningkatkan kemampuan menulis cerpensiswa ?
  5. Bagaimana metode kooperatif jigsaw dapat meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa ?

Berdasarkan identifikasi masalah pembelajaran menulis, penelitian ini I diarahkan pada upaya meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa melalui model kooperatif jigsaw.

  1. C. Pembatasan Masalah Penelitian
Mengingatbanyaknya faktor yang dapat berpengaruh terhadap kemempuan menulis, penelitianya membatasi padapeningkatan kemampuan menulis cerpen. Untuk mewujudkan aktivitas menulis, peneliti membatasi pada penerapan model kooperatif  jigsaw sebagai model yang dipilih.
  1. D. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah  penelitian tindakan ini sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah meningkatkan kemampuan menulis cerpen melalui model kooperatif jigsaw ?
  2. Apakah terdapat peningkatan kemampuan menulis  cerpen melalui model kooperatif jigsaw ?

E. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian tindakan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pemebelajaran menulis, khususnya menulis cerpen, antara lain :
  1. Memberi masukan tentang pembelajaran menulis cerpen melalui model kooperatif  jigsaw di lingkungan SMP Negeri 161 Jakarta.
  2. Memberi gambaran tentang peningkatan kemampuan menulis, khususnya menulis cerpen.
  3. Memberi pengalaman bagipeneliti dalam melaksanakan penelitian tindakan, terutama dalam pembelajaran menulis cerpen.








BAB II
KAJIAN TEORETIK, KARANGKA BERPIKIR, HIPOTESIS TINDAKAN DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
Pada Bab II ini  akan dibahas kajian teoretik, kerangka berpikir, penelitian yang relevan dan hipotesis peneltian.

  1. 1. Kajian Teoretik
  2. 1. Hakikat Kemampuan

Semiawan berpendapat bahwa kemampuan ialah daya untuk melakukan sesuatu tindakan sebagai  hasil dari pembawaan dan latihan-latihan. Latihan-latihan yang dilakuan secara terarah danteratur diharapkan dapat  mencapai suatu prestasi yang dicita- citakan.[4] Kemampuan dipandang sebagai hasil  interaksi  antara faktor-faktor keturunan dan lingkungan.
Belajar pada lingkungan akan memberi pengaruh pada kepribadian dan minat. Bila pengaruh kepribadian dan minat pada arah positif, hal ini sesuai dengan  pendidikan berkarakter yang sedang dicanangkan dan mulai diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Begitu besar pengaruh lingkungan sehingga kemampuan tidak mungkin diperoleh  hanya dengan sekali belajar, tapi membutuhkan latihan yang terus menerus dan terarah. Sedangkan Gagne dkk.,menyatakan kemampuan adalah penampilan-penampilan yang dapat diamati dari hasil kegiatan belajar.[5] Menurut Winkel, penampilan hasil belajar ini adalah kesanggupan, kecakapan untuk mencapai prestasi. Berarti ada dua  kunci pengertian kemampuan, yaitu sanggup mencapai prestasi  dan cakap mecapai prestasi.[6] Karena kedua tampilan  inimerupakan hasil belajar, maka kemampuan ini dicapai melalui latihan yang terus menerus dan melalui waktu relatif lama secara kuantitas.Dari beberapa definisi tersebut dapat  disimpulkan bahwa kemampuan adalah suatu bentuk kesanggupan atau kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mencapai  suatu  keinginan setelah    melakukan suatu  upaya tertentu berupa latihan yang teratur dalam waktu yang relatif lama. Hal ini berarti harus melalui suatu proses pembelajaran untuk memperoleh hasil yang diharapkan atau dicapai. Antara kemampuan dan hubungannya dengan menulis berarti kesanggupan dan ketercapaian untuk dapat menulis melalui proses pembelajaran di sekolah.
Gagne dan Briggs mengemukakan bahwa  kemampuan adalah hasil belajar yang diperoleh pembelajar setelah mengikuti suatu pembelajaran.[7]

  1. 2. Hakikat Menulis
Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Tarigan  mendefinisikan menulis atau mengarang sebagai suatu proses menurunkan atau melukiskan lambing-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dapat dipahami seseorang.[8]
Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca.[9]. Maksud dan tujuan menulis seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas, lancer, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian, dan pemilihan kata, dan struktur kalimat. Byre mengemukakan bahwa mengarang pada hakikatnya bukan sekedar menuliskan simbol-simbol grafis sehingga berbentuk kata, dan kata-kata disusun menjadi kalimat menurut peraturan tertuntu, akan tetapi mengarang adalah menuangkan buah pikiran ke dalam bahasa tulis melalui kalimat-kalimat yang dirangkai secara utuh, lengkap dan jelas sehingga buah pikiran tersebut dapat dikomunikasikan kepada pembaca dengan berhasil.[10] Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan karang-mengarang, pengarang menggunakan bahasa tulis untuk menyatakan isi hati dan buah pikirannya secara menarik dan mengena pada pembaca.
Sementara itu Rusyana memberikan definisi mengenai menulis atau kemampuan menulis adalah kemampuan menggunakan pola-pola bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan. Kemampuan menulis ini mencakup berbagai kemampuan, misalnya kemampuan memahami masalah yang akan dikomunikasikan segala gagasan yang ada padanya orang lain (pembaca). Bila komunikasi ini terjalin, berarti telah mencapai tujuan yang diinginkan oleh pengarang, sebab pada hakikatnya tujuan dari suatu penulisan adalah mengkomunikasikan gagasan, ide, dan pemikiran yang ada pada penulis kepada pembaca.[11]
Menulis sesungguhnya berkaitan dengan mengungkapkan gagasan. Aktivitas tersebut tidaklah berbeda dengan berbicara. Hanya bentuk dan cara mengungkapkannya relatif  berbeda meskipun memiliki substansi pesan yang sama. Menulis adalah suatu bentuk mengekspresikan diri. Seperti berbicara, menulis sesungguhnya mengungkapkan maksud tujuan tertentu dan berdasarkan struktur bahasa tertentu. Menulis pada dasarnya mengolah dan mempertimbangkan kaidah kebahasaan dan bagaimana menyiasati sebuah tema yang diungkapkan melalui gagasan ke dalam bahasa tulis.
Ditinjau dari sudut tingkah laku berbahasa, kemampuan menulis merupakan tingkah laku berbahasa yang terakhir dikuasai seseorang. Kemempuan menulis sering dipandang sebagai kemampuan berbahasa yang paling sulit. Itulah sebabnya banyak orang yang memiliki kemampuan dalam menulis.
Sulitnya melakukan kegiatan menulis disebabkan oleh kompleksnya bermasalahn yang ada dalam menulis. Seorang penulis tidak hanya dituntut menguasai tata cara penulisan, menguasai gaya penulisan tertentu agar tulisannya menarik, dan mampu mempertimbangkan calon pembaca. Kekurangan salah satu diantara kemampuan tersebut dapat menyebabkan kurang terampilnya seseorang mengemukakan gagasannya secara tertulis. Indikasi kekurangmampuan ini diantaranya dapat dilihat dari kejarangan seseorang dalam menulis, bobot tulisan rendah, serta kurangnya minat baca orang terhadap tulisan tersebut.
Setiap orang semestinya dapat menyusun ceritanya secara tertulis karena materi yang digunakan baik dalam bahasa lisan dan tulisan adalah sama, yaitu kata dan kalimat. Namun dalam kenyataannya tidak semua orang bisa menulis. Dalam hal ini Semi  menyatakan bahwa:
Menulis tidak lain dari upaya memindahkan bahasa lisan ke dalam wujud tulisan, dengan menggunakan lambing-lambang grafen. Namun, seringkali pula menulis itu dianggap sebagai suatu keterampila berbahasa yang sulit, karena menulis itu dikaitkan dengan seni atau kiat sehingga tulisan tersebut dirasakan enak dibaca, akurat, jelas, dan singkat.[12]
Menulis adalah kemampuan berbahasa yang sebetulnya dapat menjadi milik setiap orang, namun dalam prosesnya menulis bukan sekedar menggambarkan huruf-huruf melainkan ada pesan yang dibawa oleh penulis melalui gambar huruf tersebut yaitu karangan. Karangan merupakan ekspresi gagasan, pendapat, pengalaman, yang disusun secara sistematis dan logis.
Dengan demikian kemampuan menulis merupakan perpaduan antara penguasaan lambang-lambang kebahasaan dan kreativitas menyusun gagasan dalam bentuk karangan. Menulis merupakan representasi bagian dari kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa yang memungkinkan manusia untuk berkomunikasi satu dengan lainnya, dengan melalui perantara media bahasa tulis.
Dalam praktiknya, menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah. Untuk memulai menulis, setiap orang tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Belajar teori menulis itu mudah, tetapi untuk mempraktikannya tidak cukup sekali dua kali. Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis menulis. Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun, dimana pun, dan dalam siuasi yang bagaimana pun seseorang dapat melakukannya.
Menulis merupakan suatu proses kreatif yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat). Menulis tidak ubahnya dengan melukis. Penulis memiliki banyak gagasan dalam menuliskannya. Kendatipun secara teknis ada kriteria-kriteria yang dapat diikutinya, tetapi wujud yang akan dihasilkan itu sangat tergantung pada kepiawaian penulis dalam mengungkapkan gagasan.
Banyak orang mempunyai ide-ide bagus di benaknya sebagai hasil pengamatan, penelitian, diskusi, atau membaca. Akan tetapi, begitu ide tersebut dilaporkan secara tertulis, laporan itu terasa amat kering, kurang menggigit, dan membosankan. Fokus tulisannya tidak jelas, gaya bahasa yang monoton, pilihan katanya (diksi) kurang tepat dan tidak mengena sasaran, serta variasi kata dan kalimatnya kering.
Sebagai proses kreatif yang berlangsung secara kognitif, penyusunan buah tulisa memuat empat tahap, yaitu: (1). Tahap persiapan penulisan, (2). tahap inkubasi, (3). Tahap iluminasi, dan (4).[13] Tahap verifikasi/ evaluasi. Jika dilacak lebih jauh lagi, hamper semua proses menulis (essai, opini/artikel, karya ilmiah, statistik, atau bahkan masalah politik sekalipun) melalui keempat tahap ini. Proses kreatif tidak identik dengan proses atau langkah-langkah mengembangkan laporan tetapi lebih banyak merupakan proses kognitif atau bernalar.
Pertama, tahap persiapan atau prapenulisan adalah ketika pembelajaran menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan focus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati, dan lain-lain yang memrkaya masukan kognitifnya yang akan diproses selanjutnya.
Oluwadiya mengatakan bahwa aktivitas pramenulis adalah pengalaman struktural yang mempengaruhi partisipasinya siswa dalam berpikir, berbicara, menulis, dan bekerja tentang topik yang ditetapkan dalam pembelajaran menulis. Aktivitas atau pengalaman seperti itu dapat dilakukan baik secara kelompok atau individual, baik bersifat lisan atau tertulis.[14]
Aktivitas pramenulis apa pun jenisnya, sangat penting untuk dilakukan kaitannya dengan kegiatan menulis. Dikatakn demikian karena menulis pada dasarnya adalah proses mengkomunikasikan sesuatu kepada pembaca melalui media tulisan. Jika penulis tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan, menulis tidak mungkin dilakukan. Aktivitas pramenulis memberikan sesuatu kepada siswa untuk mereka katakana. Pramenulis melahirkan ide, mendorong mengalirnya pikiran secara bebas, dan membantu siswa menemukan, baik hal yang dikatakan atau diungkapkan maupun bentuk atau struktur pengungkapannya. Dengan kata lain, aktivitaspramenulis memfasilitasi perencanaan produk maupun proses. Itulah sebabnya, banyak ahli merekomendasi aktivitas pramenulis karena, dengan aktivitas itu, siswa cenderung menulis lebih banyak dan dengan mutu yang lebih baik.
Kedua, tahap inkubasi adalah ketika pembelajar meproses informasi yang dimiliknya sedemikian rupa, sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah atau jalan keluar yang dicarinya. Proses ini seringkali terjadi secara tidak disadari, dan memang berlangsung dalam wawasan bawah sadar (subconscious) yang pada dasarnya melibatkan proses perluasan pikiran (expanding of the mind).
Ketiga, tahap iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi atau insight, yaitu gagasan datang seakan-akan tiba-tiba dan berloncatan dari pikiran kita. Ada saat ini, apa yang telah lama kita pikiran menemukan pemecahan masalah atau jalan keluar. Iluminasi tidak mengenal tempat dan waktu.
Keempat, tahap terakhir yaitu verifikasi, apa yang dituliskan sebagai asli dari tahap iluminasi itu diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan focus tulisan. Mungkin ada bagian yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan, dan lain-lain yang peka, sehingga perlu dipilih kata-kata atau kalimat-kalimat yang lebih sesuai.
Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, Tomkins menyajikan lima tahap dalam pembelajaran menulis, yaitu (1) pramenulis, (2) pembuatan draff, (3) merevisi, (4) menyunting, dan (5) berbagi (sharing). Tomkins juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini merupakan kegiatan yang linier.[15]
1). Tahap Pramenulis
Pada tahap pramenulis, pembelajar melakukan kegiatan sebagai berikut;
  1. Menulis topik berdasarkan pengalaman dan minat sendiri,
  2. Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis,
  3. Megidentifikasi tujuan kegiatan menulis,
  4. Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan tujuan yang telah mereka tentukan.
2). Tahap membuat Draff
Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini adalah sebagai berikut;
  1. Membuat draff kasar,
  2. Lebih menekankan isi daripada tata tulis,
3). Tahap Merevisi
Yang perlu dilakukan oleh pembelajar pada tahap merevisi tulisan tulisan ini adalah sebagai berikut;
  1. Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok),
  2. Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman sekelompok atau sekelas,
  3. Membuat perubahan yang subtantif  pada draff pertama dan draff berikunta, sehingga menghasilkan draff akhir.
4). Tahap menyunting
Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pembelajar adalah sebagai berikut;
  1. Membetulkan kesalahan bahasa tulis mereka sendiri,
  2. Membantu membetulkan kesalahan bahasan dan tata tulisan mereka sekelas/sekelompok,
  3. Mengoreksi kembali kesalahn-kesalahan tata tulis tulisan sendiri,
5). Tahap berbagi
Tahap terakhir dalam proses menulis adalah berbagi (sharing) atau publikasi. Pada tahap berbagi ini, pembelajar;
  1. Mempublikasikan (memajang) tulisan dalam suatu bentuk tulisan yang sesuai, atau
  2. Berbagi tulisan yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka tentukan.

  1. 3. Hakikat Cerpen
Ada beberapa definisi cerpen yang dikemukakan oleh beberapa ahli Menurut Marahimin, Cerpen adalah cerita rekaan yang pendek. Karena pendeknya, dalam cerpen kita biasanya tidaklah menemukan adanya perkembangan di dalam cerita itu. Peristiwanya singkat saja, Kepribadian tokoh, atau tokoh-tokohnya tidak berkembang, dan kita tidak menyaksikan adanya perubahan nasib tokoh ketika cerita berakhir dan ketika konflik yang hanya satu terselesaikan, kita tidak pula tahu bagaimana kelanjutan kehidupan tokoh dalam cerita itu.[16]
Dalam catatan sejarah kesusustraan Indonesia, cerpen merupakan genre sastra yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi atau novel. Tonggak terpenting dalam sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai dari cerita-cerita M. Kasim (bersama Suman Hs.), pada awal tahun 1910-an, yang memperkenalkan bentuk tulisan berupa cerita- cerita pendek yang lucu. Sejak saat itulah, di Indonesia mulai di kenal bentuk penulisan cerita pendek atau cerpen.[17]
Cerpen merupakan pengungkapan suatu kesan yang hidup dari pragmen kehidupan manusia, tidak dituntut terjadinya suatu perubahan nasib dari pelaku- pelakunya. Hanya suatu lintasan dari secercah kehidupan manusia, yang terjadi pada satu kesatuan waktu.[18]
Menurut Pranoto  cerpen adalah cerita yang pendek tetepi menyelesaikan semua persoalan secara tuntas dan utuh, sesuai dengan tema yang disajikan oleh pengarangnya.[19]
Cerpen menyampaikan cerita yang memiliki karakteristik khas, memberikan satu kejadian utama, kejadian-kejadian lain yang diceritakan hanya mendukung kejadian utama.[20]
Menurut Sumardjo  ada beberapa ciri sebuah cerpen. Pertama menurut wujud fisiknya cerpen adalah certa pendek, yang habis dibaca sekitar sepuluh menit. Cerita yang terdiri dari sekitar 500 sampai 5000 kata, bahkan ada cerpen yang terdiri dari 30.000 kata. Rata-rata cerpen Indonesia terdiri dari empat atu lima lembar kertas folio dengan spasi rangkap, paling banyak dua puluh lembar.[21]
Tetapi dengan hanya melihat bentuk fisiknya yang pendek saja, orang belum bisa menetapkan bahwa itu cerpen. Ada jenis cerita pendek tetapi bukan cerpen, seperti fable, parabel, cerita rakyat. Ada pula cerita pendek yang disebut anekdot, yaitu kisah lucu dan eksentrik dari tokoh besar sejarah.
Ciri esensial cerpen yang kedua adalah sifat naratifnya atau sifat ceritanya. Jadi cerpen bukan argumentasi atau analisa atau deskripsi. Namun, bentuk naratif yang pendek saja belum tentu cerpen. Dalam hal ini, sebuah sketsa, berita atau kisah perjalanan juga punya sifat naratif. Dalam jenis ini biasanya penuturannya berurutan dan hidup, tapi jelas berdasarkan hal-hal yang benar-benar ada dan terjadi, ada nilai aktualisasinya. Sedangkan sebuah cerpen tidak tergantung sama sekali pada nilai aktualisasinya, cerpen adalah fiksi yang berarti ciptaan atu rekaan. Inilah cirri esensial ketiga dari cerpen yaitu fiktif.
Meskipun cerpen merupakan fiksi, tetapi terap harus berdasarkan realita. Yang berarti dapat terjadi seperti itu tetapi bukan terjadinya seperti itu. Maka salahnya anggapan orang bahwa membaca fiksi hanyalah membuang waktu, karena mau dikabuli pelamun-pelamun, tetapi kenyataannya fiksi dibaca setiap masa. Orang membaca fiksi karena ia menunjukan suatu sisi kenyataan, yaitu pengalaman subyektif pengarangnya. Orang membaca fiksi berarti orang ikut terjun menghayati pengalaman seseorang. Dalam membaca cerpen atau novel, kita mengidentifikasi diri dengan tokoh cerita sehingga kita sendiri seakan ikut mengalami pengalaman-pengalamannya, perbuatan-perbuatannya, pikirannya, keputusannya, dan perasaannya.Pada dasarnya karya sastra (puisi, novel, cerpen) adalah menciptakan realitas baru dari realitas empirik pada kejadian sehari-hari yang dicermati pengarang”
Karya sastra adalah hasil kreativitas, fiksi, bukan realita. Karena itu “dunia” yang diciptakan adalah dunia rekaan. Tetapi, karya sastra “mirip” kehidupan. Pengarang merakit dunia ciptaannya itu berdasarkan pengalaman-pengalamannya, baik pengalaman dirinya sendiri maupun pengalama orang lain. Dari satu segi, karya sastra merupakan tafsiran pengarangnya mengenai kehidupan ini. Dari sisi lain, pembaca menanggapi karya sastra berbekal pengalamannya sendiri. Maka terjadilah dialog.[22]
Kebenaran tidak hanya bis kita peroleh lewat filsafat atau ilmu yang mengandalkan pada daya pikir semata, tetapi juga lewat sastra. Lewat penghayatan perasaan orang lain.
Sifat fiktif naratif ini menuntut adanya suatu kejadian dalam cerpen. Kejadian disini tidak perlu mesti berwujud perbuatan, tetapi bisa pergulatan batin, dan hanya boleh ada satu kejadian itu, harus dilakukan dengan hemat dan ekonomis. Inilah sebabnya dalam cerpen dituntut hanya ada dua atau tiga tokoh saja yang penting. Hanya boleh ada satu konflik yang menggerakkan cerita. Hanya ada satu efek saja untuk membaca. Ringkasnya semuanya harus serba ekonomis sehingga hanya ada satu kesan saja yang diberikan kepada pembaca. Meskipun serba ekonomis, sebuah cerpen harus merupakan suatu kesatuan yang komplit.
Berdasarkan ciri-ciri cerpen di atas dapat dinyatakan, bahwa cerpen harus berupa cerpen atau narasi (bukan analisa argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar terjadi tetapi bisa terjadi kapan saja dan dimana saja) serta relative pendek yang mengandung satu kejadian untuk satu efek bagi pembaca.
Sebuah cerita, baik cerpen meupun novel dibentuk oleh beberapaunsur. Menurut Nurgiantoro, Kritikus yang menganalisis novel, umumnya membedakan tiga unsur pembentuk novel: alur, penokohan, dan latar. Yang terakhir ini bersifat simbolis, dan dalam teori modern ini disebutatmosphere ( suasana) dan tone (nada), masing-masing unsur menentukan unsur  yang lainnya.Unsur penting sebuah narasi adalah kejadian, tokoh, dan konflik. Ketiga unsur itu harus ada dan hampir tidak bisa dipisahkan, itulah yang dinamakan alur.[23]
Pranoto menyatakan bahwa elemen cerpen terdiri dari plot, sudut pandang, tokoh/pelaku, dialog, konflik, setting, dan mood (suasana hati/ atmosfir). Sejak awal cerita ditulis secara menarik dengan alur pembukaan (opening), isi klimaks (contents/ climax) dan anti klimaks (closing).[24]
Unsure cerita bisa dibentuk tanpa menemukan plot terlebih dahulu. Cerita bisa dibentuk oleh desakan tema, desakan karakter, dan desakan settingnya. Apa yang perlu dicatat oleh seorang pemula dalam catatan kepengarangannya tidak harus sejumlah watak yang spesifik dan aneh. Juga persoalan-persoalan yang baru (tema). [25]
Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur pembentuk cerpen adalah sebagai berikut.
1) Plot atau Alur
Plot atau alur adalah sebuah interrelasi fungsional antara unsure-unsur narasi yang timbul dari tindak tanduk, karakter, suasana hati (pikiran) dan sudut pandang, serta ditandai oleh klimaks-klimaks dalam rangkaian tindak-tanduk itu yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan narasi.
Menurut Sumardjo, “cara peristiwa disusun adalah alur (plot), yang merupakan bagian dari bentuk.” Kebanyakan cerpen memaparkan kejadian dan bukan manusianya sebagai pribadi, yang mendorong orang menulis mula-mula kerangka kejadian yang membentuk suatu pola plot tertentu baru kemudian diisi dengan tokoh-tokohnya.[26]
Narasi adalah cerita. Cerita ini didasarkan pada urutan-uruatan suatu (atau serangkaian kejadian atau peristiwa. Didalam kejadian itu ada tokoh (beberapa tokoh) dan tokoh ini mengalami atau menghadapi suatu (atau serangkaian) konflik atau tikaianKejadian, tokoh, dan konflik ini biasa pula disebut plot, atau alur. Dengan demikian, narasi adalah cerita berdasarkan alur.[27]
Widyamartaya mengatakan tentang plot sebagai berikut.
  1. Plot merupakan liku-liku suatu peristiwa, diketemukan dalam kaitan satu kejadian utama dengan kejadian utama lainnya. Plot menyebabkan satu kejadian punya hubungan dengan kejadian lainnya. Hubungan itu harus bersifat logis bisa merupakan hubungan kausal dan atau hubungan kontinuitas.
  2. Plot menikat jalan cerita sehingga memiliki klimaks dan antiklimaks dari hubungan-hubungan antar kejadian.
  3. Plot akan lebih berkembang jika manusia yang menjadi pusat penceritaan tidak hanya satu orang. Dengan variasi watak orang-orang yang diceritakan, akan lebih gampang untuk menciptakan kejadian yang dramatis.
Ada bermacam-maca cara menjalin peristiwa (plot) :
  1. Berdasakan urutan waktunya, ada garis lurus (alur maju atau alur kronologis), yaitu peristiwa-peristiwa dijalin berdasarkan urutan waktu. Dan sorot-balik (alur mundur), yaitu peristiwa dijalin tidak berdasarkan urutan waktu.
  2. Berdasarkan letak puncak peristiwanya, ada alur urutan klimaks, yaitu memulai cerita dengan menyebutkan peristiwa biasa. Kemudian lambat laun meningkat menjadi makin menonjol, makin penting, atau makin tagang. Peristiwa yang menjadi puncak cerita mengakhiri cerita. Urutan antiklimaks, yaitu memulai cerita dengan peristiwa yang paling tegang atau menonjol untuk kemudian mengendor dan cerita berakhir dengan peristiwa yang biasa saja.
  3. Berdasarkan rapat renggangnya hubungan peristiwa satu dengan peristiwa yang lain, ada alur dramatik atau alur rapat, sebuah cerita akan merupakan satu kesatuan sungguh-sungguh: hanya ada satu alur, yaitu alurnya tokoh utama, dengan satu pusat konfliknya. Segala peristiwa dijalin untuk menimbulkan efek dramatik, bergerak menuju kepada puncaknya. Cerpen mempunyai alur dramatik dan alur rapat. Kedua, alur renggang atau alur panoramik, yaitu diceritakan banyak tokuh, masing-masing dengan alurnya sendiri yang bebas dan lepas-lepas.[28]
Wellek dan Warren membagi plot kedalam beberapa macam tipe yaitu: plot yang lebih longgar dan plot yang ketat, plot yang “romantis” dan “realistis”
Menurut Mahayana, secara umum cerita rekaan terdiri atas peristiwa yang terjadi di awal,bagian tengah, dan bagian akhir. Dalam struktur alur, bagian awal terdiri atas paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), dan gawatan (rising action). Bagian tengah terdiri atas tikaian (conflict), rumitan (complication), klimaks (climax). Adapun bagian akhir terdiri dari leraian (falling action) dan selesaian (denouement).[29]
Struktur alur demikian didasarkan pada karya sastranya itu sendiri. Maksudnya bahwa teori lahir karena adanya karya sastra, dan bukan karya sastra lahir karena teori. Oleh karena itu, teori haruslah selalu mengikuti perkembangan karya sastra itu sendiri. Dengan kata lain, struktur alur yang demikian tidaklah dapat diterapkan pada semua karya sastra.
Dalam hal tersebut diatas, sangat mungkin ada karya sastrayang tidak mengandung semua bagian struktur alur itu. Cerpen, misalnya, seringkali dimulai bukan dari paparan, melainkan dari rangsangan. Ada pula cerita yang dimulai justru di tengah keseluruhan peristiwa yang terdapat dalam karya itu. Cerita semacam itu disebut sebagai in medias res. Tetapi ada pula cerita yang diawali dari peristiwa akhir dari keseluruhan rangkaian peristiwa dalam karya itu, yang disebut alur flashback.
Berdasarkan beberapa pernyataan yang dikemukakan para ahli diatas, mengenali alur atau peristiwa, maka criteria atau rambu-rambu penilaian yang tergambar dalam aspek alur atau peristiwa, yang dipergunakan peneliti, untuk menganalisis cerpen hasil karangan siswa antara lain.
  1. Jenis pembuka yang digunakan (deskripsi orang, tempat/ suasana, atau dialog) berhasil membangun suasana cerita yang dikisahkan penulis.
  2. Alur jelas adanya kesatuan dan ceritanya logis.
  3. Peristiwa diceritakan menyajikan sesuatu yang baru, mebarik, dan merangsang pembaca
  4. Eangkai peristiwa dapt membangun klimaks cerita.
  5. Peristiwanya menarik digambarkan dengan menggunakan lambing atau symbol yang menguatkan cerita.
  6. Jenis penyelesaian yang digunakan (senang, sedih, meggantung) mampu menciptakan suasana cerita yang dikisahkan penulis.
2)  Penokohan
Ragam penokohan ada dua, yaitu, penokohan statis dan dinamis atau penokohan beekembang. Penokohan “datar” (flat characterization) menampilkan satu kecenderungan, yang dianggap domonan atau kecenderungan yang paling jelas secara social. Penokohannya dapat berupa karikatur atau idealisasi yang abstrak. Penokohan “bulat”(round characterization) seperti penokohan “dinamik”, membutuhkan ruang dan penekanan. Penokohan semacam ini sesuai untuk tokoh-tokoh yang penting sudut pandangnya dan biasanya digabung dengan penikihan “datar” untuk tokoh-tokoh latar belakang.
Istilah penokohan mencakup dua hal yaitu tokoh dan karakter tang diletakan pengarang kepada tokoh tertentu. Tokoh dapat diartikan sebagai pelaku cerita, sedangkan karakter atau perwatakan disebut juga ialah gambaran rupa atau pribadi atau watak pelaku dalam cerita. Tokoh dan wataknya ditampilkan oleh pengarang beragam-ragam coraknya.[30]
Penokohan erat hubungannya dengan alur karena tokoh-tokoh cerita ikut berbuat dan bermain menghubungkan peristiwa demi peristiwa yang terdapat dalam cerita. Contohnya penokohan Datuk Maringgih dalam roman Siti Nurbaya, sebagai Datuk seorang yang curang, kasar, khianat, dapat dilihat dari perbuatan dan tingkah lakunya, seperti sengaja menenggelamkan kapal dagang kepunyaan orang lain, pura-pura menolong dengan meminjamkan uang tetapi dengan maksud tertentu, menyuruh orang mencelakakan Siti Nurbaya dengan jalan merancuninya.
Dalam cerita-cerita lama, terutama roman, penggambaran watak si pelaku dilakukan secara khusus dan dijelaskan secara khusus pada permulaan cerita. Cara demikian disebut perwatakan secara analistis, cara ini kurang baik. Penulisan karakter yang dianggap baik adalah dengan cara dramatis, yaitu pengarang menggambarkannya dalam setiap tahap dalam ceritanya, semua yang dikatakan orang lain tentang tokoh pelaku cerita dapat dilihat dari: (a) apa yang dilakukannya, (b) apa yang dikatakannya, (c) bagaimana penilaian tokoh lain atas dirinya.
Lubis menyebutkan beberapa cara yang dapat digunakan oleh pengarang untuk melukiskan rupa, watak, atau pribadi tokoh pelaku antara lain:
a). Physical description (melukiskan bentuk lahir pelaku)
b). of  thought strem or conscious thought (melukiskan jalan pikiran apa yang terlintas dalam pikirannya).
c). Reaction to events (melukiskan bagaimana reaksi pelaku itu terhadap kejaian-kejadian).
d). Direct author analysis (pengarang dengan langsung menganalisis watak pelaku)
e). Discussion of environtment (pengarang melukiskan keadaan sekitar pelakon. Misalnya dengan melukiskan keadaan dalam kamar pelakon, pembaca akan dapat kesan apakah pelakon itu orang yang jorok, bersih, rajin, malas, dan sebagainya).
f). Reaction of others about/to character (pengarang melukiskan bagaimana pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama pandangan itu).
g). Conversation of other about character (pelakon-pelakon lainnya dalam suatu cerita mempertimbangkan pelaku utama, dengan demikian secara tidak langsung pembaca mendapat kesan tentag segala sesuatu mengenai pelakon utama itu).[31]

Abidin mengatakan bahwa tokoh adalah pelaku cerita sedangkan karakter adalah watak yang dilekatkan pengarang pada tokoh cerita tersebut. Tokoh dan penokohannya mutlak adanya dalam sebuah karya fiksi, karena tokohlah yang memiliki fungsi sebagai pengemban pesan pengarang.[32]
Menurut Pranoto  suatu cerpen menarik untuk dibaca bila pengarangnya mampu menciptakan para pelakunya berkarakter kuat, antara lain mengaduk-aduk atau mempermainkan emosi pembacanya. Tokoh terdiri dari: tokoh utama (protagonis), tokoh lawan tokoh utama (antagonis), tokoh statis (statis character), dan tokoh dinamis (dynamic character).[33]
Menurut  Widyamartaya, agar perwatakan dalam membuat cerita baik, maka watak-waatak dalam cerita harus dapat dipercaya, wajar sesuai dengankeadaan hidup yang sebenernya. Watak pelaku harus jelas kekhasannya, perbedaan atau pertentangannya denga pelaku lainnya. Watak dapt digambarkan dengan hidup sehingga pembaca dapat membayangkan dengan mudah didalam angan-angan.[34]
Ada tiga cara untuk memperkenalkan watak atau kepribadian seseorang, yaitu pengarang menyebutkannya. Pengarang menggambarkannya dalam tingkah laku pelaku: tindakan, gerak-geriknya, reaksi pelaku terhadap suatu kejadian atau orang lain. Pengarang menggambarkannya dalam percakapan atau ucapan pelaku: percakapan pelaku dengan pelaku lain, ucapan pelaku tentang pelau lain, dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa pernyataan yang dikemukakan para ahli di atas mengenai tokoh dan penokohan, maka criteria atau rambu-rambu penilaian yang tergambar dalam aspek pelaku yang dipergunakan peneliti untuk menganalisis cerpen hasil karangan siswa antara lain.
  1. Penokohan dalam cerpen berhasil memenuhi aspek kewajaran seperti dalam kehidupan sehari-hari atau penokohan yang digambarkan ada relevansi dengan kehidupan sehari-hari
  2. Pelukisan karakter tokoh berhubungan antara tokoh dengan penokohan, misalnya tokoh protagonist sebagai pelaku utama sangat baik begitupun sebaliknya.
  3. Keberadaan tokoh berhasil mengangkat perkembangan alur cerita.
  4. Penokohan berkarakter kuat dapat mengaduk-aduk atau mempermainkan emosi pembaca.
  5. Watak pelaku jelas kekhasannya, kelihatan perbedaan atau pertentangannya dengan pelaku lain dan wataknya digambarkan dengan hidup sehingga pembaca dapat membayangkan dalam angan-angannya.
  6. Penggambaran watak tokoh sangat jeli, terperinci dan menarik digambarkan dengan menggunakan lambing atau symbol yang menguatkan cerita
3)       Latar
Latar atau setting menunjukkan sebuah lokasi atau tempat kejadian sebuah peristiwa tengah berlangsung. Disamping latar tempat dan latar waktu, di dalam teori sastra ada bermacam-macam latar yang harus diperhatikan secara cermat, diantaranya latar social. Latar budaya, latar ekonomi, latar politik, latar agama, dan sebagainya. Cipta setting perlu dipikirkan agar menarik, walau hanya dimunculkan sekilas. Setting ini berkaitan erat dengan eksistensi tokoh dan latar belakang tokoh.
Alur tentulah tidak dapat terjadi didalam suatu kekosongan. Mestilah ada waktu dan tempat kejadian. Untuk itu Marahimmin, mengatakan bahwa alur itu mempunyai latar waktu dan latar tempat.[35]
Supaya cerita tidak mengambang maka harus ada tempatnya, panggungnya, latarnya. Sebaiknya latar yang kita ceritakan menyajikan sesuatu yang baru, menarik, dan merangsang pembaca.[36]
Apabila kita membaca cerita yang terjadi di Indonesia, waktunya masa kini, tetapi orang-orang yang terlibat didalamnya tidak bertindak seperti orang Indonesia, begitupun suasananya, budayanya, sosialnya, ekonominya, politiknya, tidak mencerminkan keadaan di Indonesia. Berarti ada yang salah dalam cerita semacam itu. Latarnya tidak tajam, tidak jelas. Disamping latar tempat dan waktu yang harus jelas dan tajam, kita mesti memberikan latar-latar lain yang membenarkan dan memberikan kesaksian bahwa memang disanalah terjadinya peristiwa itu. Untuk itu perlulah latar social, latar budaya, latar ekonomi, latar politik pemerintahan dan beberapa latar lainnya yang diungkapkan dengan jelas dan tajam, sehingga cerita itu tidak bisa dipindahkan ke lokasi serta waktu lain tanpa mengurangi nilainya.
Semua latar di atas dapat disimpulkan dalam sebuah istilah saja: warna local. Warna lokal yang tajam menggambarkan bukan saja waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi juga sosial budaya serta semua hal yang menyangkut latar lainnya, sehingga cerita yang sama tidak bisa terjadi di tempat lain, atau pada waktu yang lain.[37]
Berdasarkan beberapa pernyataan yang dikemukakan para ahli di atas, untuk keperluan penelitian ini, kriteria atau rambu-rambu penilaian yang dipergunakan untuk menganalisis cerpen karya siswa dari aspek latar antara lain.
  1. Latar yang diceritakan menyajikan sesuatu yang baru, menarik, dan merangsang pembaca.
  2. Latar dalam cerita tajam dan jelas sesuai dengan suasana, budaya, sosial, ekonomi, politik yag mencerminkan keadaan (warna vocal) peristiwa yang diceritakan. Misalnya ceritanya terjadi di Indonesia berarti harus mencerminkan keadaan (warna vocal) di Indonesia, sehingga dapat membenarkan dan memberikan kesaksian bahwa memang di sanalah terjadinya peristiwa itu.
  3. Latar menarik di gambarkan dengan menggunakan lambing atau symbol yang menguatkan cerita.
  4. Penggambaran latar sangat jeli dan terperinci mampu menciptakan suasana yang dikisahkan penulis.
4)      Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view) dalam menyampaikan cerita, pengarang dapat menggunakan sudut pandang melalui pencerita. Dalam hal ini, pencerita tidaklah sama dengan pengarang. Pencerita adalah tokoh yang menyampaikan yang dapat dilakukan melalui pencerita orang pertama (aku) atau orang ketiga (dia). Oleh karena itu, pencerita bisa dibedakan berdasarkan siapa penceritanya. Jika orang pertama, disebut pencerita akukan (first person narrator) dan jika orang ketiga, disebut pencerita diaan (third person narrator). Dilihat dari frekuensi keterlibatannya di dalam cerita, pencerita akuan terdiri dari pencerita akuan sertaan (first person participant narrator) dan penceritaan akuan tak sertaan (first person non-participant narrator).[38]
Sudut pandang mengarah pada cara sebuah cerita dilukiskan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk sebuah cerita.[39] Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
Ada beberapa macam pembagian sudut pandang. Sumardjo dan Saini (1986:83-84) yang membagi sudut pandang menjadi empat macam.
1). Sudut pandangan yang maha kuasa (Omnicient point of view), sebuah cerita dituturkan pengarang seolah dia manatahu segalanya. Pengarang dapat menggambarkan semua tingkah laku tokoh-tokohnya, mengerti apa yang mereka kerjakan. Pengarang semua perasaan para tokohnya. Tapi point of view ini jelas bertentangan dengan pengalaman hdup sebenarnya. Pengalaman manusia terbatas. Pengarang modern banyak yang meninggalkan teknik ini bercerita ini.
2). Sudut pandang (objective point of view), pengarang bekerja sebagai pencerita tetapi ia sama sekali tidak memberi komentar apapun. Pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi dan pengarang sama sekali tidak mau masuk pada pikiran para pelaku.
3). Sudut pandang orang pertama, pengarang menggunakan gaya aku untuk bercerita. Semua cerita dituturkan lewat aku. Yang tentu saja tidak mewakili pribadi pengarangnya. Tetapi seluruh cerita tergantung pada watak tokoh aku. Misalnya kalau tokoh aku seorang perasa.
4). Sudut pandang peninjau. Dalam teknik ini pengarang memilih salah satu tokoh cerita untuk bercerita. Seluruh kejadian cerita diikuti pembaca melalui tokoh yang dipillih pengarang. Dengan demikian teknik ini digunakan sebagai penceritaan dalam bentuk penuturan pengalaman seorang tokoh.
Untuk menceritakan suatu cerita pengarang boleh memilih dari sudut mana ia akan menceritakan cerita itu. Apakah sebagai orang di luar saja, atau apakah pengarang juga akan turut dalam cerita itu. Ia harus mengambil sikap menuliskan ceritanya dengan sudut pandang orang pertama atau ketiga, msing-masing dengan berbagai kemungkinannya atau bahkan keduanya sekaligus.[40]
Nurgiantoro  menekankan bahwa titik pengisahan merupakan hal yang penting bagi pengarang, bukan hanya sebagai gaya bercerita tetapi juga untuk mengembangkan cerita. Oleh sebab itu, pemilihan sudut pandang akan tergantung pada jenis cerita dibuat. Sebuah cerita yang baik adalah cerita yang memiliki ketepatan pengarang.[41]
5)       Konflik
Adanya cerita baik dalam cerpen maupun dalam novel, adalah karena adanya konflik yang diciptakan pengarang. Tidak ada konflik tidak mungkin ada cerita. Konflik adalah nyawa cerita. Konflik yang di pasang pengarang dapat di kembangkan menjadi cerpen yang baik dengan pemecahan (kesimpulan pengarang) atau tidak. Dalam cerpen modern konflik biasanya tidak diselesaikan oleh pengarang. Penyelesaiannya terserah kepada pembaca masing-masing yang diyakini pengarang sudah dewasa dan mempunyai pandangan hidup yang amat beragam. Dalam hal ini pengarang bersifat terbuka, menyerahkan konflik untuk dijawab oleh pembacanya. Dalam fiksi lama pengarang biasanya bertindak sebai penyidik, mengajari pembacanya, yakni dengan memberikan penyelesaian dengan konflik yang diberikan. Apa yang diputuskan pengarang berarti apa yang menjadi pandangan hidup pengarang.
Ada beragam konflik dalam fiksi yaitu konflik batin, konflik fisik, social atau keagamaan. Konflik yang ditemukan pengarang harus dipersiapkan sebaik-baiknya dengan kondisi watak si tokoh. Artinya konflik tertentu belum tentu menpunyai perkembangan yang sama kalau dipilih karakter yang berbeda. Misalnya: tokoh seorang suami yang beranak dua, cukup miskin, numpang pada mertua yang cerewet, berpendirian tidak teguh, dsb. Konflik: mempunyai kesempatan mengambil uang direkturnya yang kebetulan tercecer. Kalau dia ambil akan memenuhi kebutuhan keluarganya sekian hari, kalau tidak diambil ia akan kembali menghadapi situasi keluarga yang panas. Kalau diambil sang direktur tentu tidak tahu dan dia menganggap uang itu hilang. Tetapi hati nurani tetap berkata: mencuri itu meskipun sang direktur tidak tahu. Konflik kecil dan sederhana ini bisa saja diolah oleh pengarang dengan keputusan memenangkan nurani si pegawai atau menenangkan desakan ekonominya.
Konflik tunggal itu bisa saja dikembangkan menjadi konflik jamak. Bukan hanya konflik si pegawai tetapi juga konflik antara konflik antara si suammi dengan meruanya atau dengan direkturnya. Makin banyak koflik yang tersirat dalam satu cerpen makin kuatlah mutu cerpen tersebut.[42]
Menurut Pranoto, yang membuat suatu cerpen menarik untuk dibaca apabila dirasakan oleh pembacanya seperti benar-benar terjadi. Maka unsure logika tidak boleh diabaikan. Disinilah mood bermain, khususnya untuk menciptakan konflik yang membuat emosi pembaca terusik. Konflik bisa dirasakan atau ditanggap pembaca karena kemahiran si pengarang dalam menyajikan permasalahan yang disajikan dalam tulisan yang begitucatchy.[43]
6)      Gaya Bahasa
Sebuah cerpen yang menarik tidak akan lepas dari penggunaan bahasa yang dapat mengaktifkan daya imajinasi pembacanya. Untuk itu bahasa yang digunakan harus hidup. Menurut Sudiati dan Widyamarta  pada umumnya bahasa akan menjadi hidup bila: memasukkan gerak dalam penuturan kita; menggunakan dialog (percakapan) yang wajar yang dapat mengembangkan perwatakan dan plot; menggunakan kata- kata yang khusus, dan konkrit; menggunakan kiasan-kiasan yang segar dan baru; menggunakan kata-kata yang menirukan bunyi.[44]
Tulisan yang ditulis dengan penuh keakraban dan penuh kedekatan akan melahirkan bahasa yang hidup.
Menurut  Widyamartaya  dalam bercerita itu ada dua macam kalimat yang dipakai:
  1. Kalimat-kalimat yang merupakan narasi pengarang sendiri, untuk menceritakan suasana alam, cirri fisik, pikiran, perasaan, serta perbuatan manusia dalam cerita. Narasi pengarang, atau bahasa yang digunakan, yang disesuaikan dengan umur pembaca yang dituju, lingkungan social, budaya pembaca yang dituju. Perbedaan lingkungan akan membawa perbedaaban dalam kebutuhan, citarasa, dan bahasa.
  2. Kalimat-kalimat yang lahir dari tokoh-tokoh dalam cerita, baik berupa dialog maupun monolog. Kalimat-kalimat atau bahasa yang dipakai disesuaikan dengan watak dan logat tokoh.
Penulis-penulis besar hamat dengan hamburan kata-kata. Kalimat-kalimat mereka ringkas namun jelas, bening dan gaya makna. Kalimat-kalimat yang mereka ciptakan akan menggambarkan pengalaman hidup tokoh-tokohnya begitu kokoh dan tegas. Kalimat-kalimat sastra harus mempunyai kekuatan. Ia harus mampu melukisakn informasi secara tepat dan kaya[45].
Cerpen adalah salah satu bentuk karya sastra (fiksi) sehingga dalam penggunaan bahasanya akan berbeda dengan karya tulis ilmiah. Untuk itu dalam menggambarkan bahasa sastra. Bahasa sastra jauh lebih dalam memasuki struktur makna bahasa. Bahasa ilmu sedikit sekali mengandung unsure ekspresif, sedangkan dalam bahasa sastra unsure ekspresiflah yang dominan.
Berdasarkan beberapa pertanyaan diatas berkaitan dengan bahasa sastra dapat penulis kemukakan bahwa bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra, terlebih cerpen, menggunakan bahasa yang `bersayap` cenderung konotatif dan ambigu. Bahasa tersebut menjadikan cerpen menjadi hidup, tidak kering, dan berseni. Misalnya `melihat langit pagi` dengan `melihat langit pagi yang cerah` terasa berbeda karena yang terkahir memiliki sayap. Perhatikan contoh di bawah ini.
“Dimalam itu, bulan terang benderang. Alankah bulan terang selamanya. Tidak, sebab besok ia sudah hilang diganti oleh pagi.”

Kutipan di atas terasa kering. Mengapa? Tidak ada bahasa bersayap yang dominan. Hal ini kurang merangsang kretivitas pembaca untuk berimajinasi. Bedakan dengan kutipan di bawah ini.
“Malam itu bulan masih perawan. Senyumannya yang segar menyapaku dengan kelembutan sorgawi. Ya bulan akankah senyummu tetap segar dan abadi. Tidak, pagi akan mencuri senyummu yang segar itu. Seandainya saja pagi tiada, kau pasti akan terus tersenyum dan tersenyum.”

Kutipan di atas terasa hidup, tidak kering dan bersemi. Kata-kata bersayapnya dapat dirasakan. Penggunaan bahasa bersayap disebut juga dengan majas. Dalam cerpen majas yang prosuktif dan banyak digunakan yaitu majas personifikasi
7)      Tema
Pokok persoalan bisa menentukan penting tidaknya sebuah cerpen. Tema atau pokok persoalan dalam cerpen memang hanya salah satu unsur saja bukan segala-segalanya.[46] Tema adalah suatu subyek yang merupakan pokok pikiran tukang cerita dan yang merupakan sumber permasalahan dan pembalasan dalam cerita itu.[47]
Menurut Tomashevsky dalam Rusyana  menyatakan bahwa daras yang mempersatukan dalam struktur fiksi adalah fikiran umum, atau tema . Tema adalah pokok perbincangan; perilaku atau gerakan yang mendasari; pokok umum, dan berkenaan dengan pokok tersebut cerita yang bersangkutan merupakan sebuah ilustrasi.[48]
Secara umum, tema terbagi menjadi tiga: (1) estetis, yakni tema yang berisikan tentang keindahan, baik secara fisik maupun psikis, misalnya tema percintaan. (2) etis, yakni tema yang berkaitan dengan idealism yang ada di masyarakat misalnya kepahlawanan, dan (3) religius yakni tema yang berbau ketuhanan. Pembagian tersebut tidaklah mutlak dan bukan merupakan harga mati dalam menulis cerita.
Tema yang digarap maya adalah sebuah tema besar. Sebuah karya sastra menjadi bermakna, kalau dalam kandungannya menggambarkan sebuah pencerahan dan sebuah kebermaknaan.
Pemahaman terhadap tema cerita yang di baca akan jelas bila pembaca tersebut telah memahami satuan peristiwa, tahapan plot, tokoh-tokoh dalam cerita berserta karakternya, dan memahami latarnya. Dengan demikan dpat dinyatakan bahwa tema adalah pokok pikiran yang mendasari sebuah cerita. Tema merupakan bahan dasar sebuah cerita pendek.
Tema untuk menulis akan muncul, jika penulis terinspirasi sesuatu. Misalnya, ada sebuah berita yang menceritakan mengenai tenggelamnya kapal feri “Srikandi”. Dalam berita tersebut, diberitakan setidaknya 10 orang tewas. Penulis langsung terinspirasi untuk menulis cerpen berjudulKetika Srikandi Pergi dengan menggunakan tema religius.

  1. 4. Hakikat Kemampuan Menulis Cerpen
Cerpen adalah salah satu bentuk karya dari penulisan kreatif (creative writing). Masing-masing pengarang mempunyai proses kreatif dan gaya penulisan yang berbeda-beda. Semuanya itu tergantung pada: daya imajinasi, kekayaan materi yang akan di tulis yang bersumber pada ide; wawasan berbagai pengetahuan dan kebudayaan; penguasaan kosa kata; mengolah kata-kata serta merangkainya menjadi kalimat yang catchy. Semuanya itu dapat diperoleh dengan cara; banyak membaca karya sastra maupun ilmu-ilmu sosial; bergaul atau bersosialisasi; menulis secara rutin dan disiplin; menyediakan alat tulis yang memadai da ruang yang menunjang untuk bekerja; berpikir dan bertindak bahwa menulis pekerjaan yang menyenangkan; dan berambisi punya karya yang berbobot sebanyak-banyaknya. Karya ini ysng akan mengangkat seseorang menjadi pengarang dan punya nama.[49]
Kemampuan menulis cerpen merupakan salah satu kegiatan kemampuan menulis yang kompleks. Selain harus memperhatikan struktur bahasa dan kosakata dalam menyampaikan ide cerita, penulis juga harus memperhatikan struktur bahasa, ejaan, tanda baca, pemenggalan paragraph, diksi yang tepat dalam memyampaikan ide cerita, penulis juga harus memperhatikan struktur cerpen supaya karangan yang dihasilkan yang dihasilkan membuat sebuah alur cerita yang sangat menarik dan memberikan kesan mendalam kepada pembaca.
Kemampuan menulis cerpen tidak akan datang secara otomatis tetapi harus melalui proses pembelajaran dan latihan yang tepat. Oleh karena itu guru sebagai pengajar di sekolah harus mempunyai teknik yang tepat supaya menarik minat dan kemampuan siswa dalam menulis cerpen, untuk itu dengan menggunakan teknik kolaborasi disertai metode copy the master di harapkan siswa memiliki kompetensi yang baik dalam menulis cerpen.
Ada beberapa cara menulis cerpen, mulai dari cara menulis pembuka, tokoh, alur, latar, dan penyelesaian.
1). Cara menulis pembuka cerpen
Berbagai cara yang dapat dilakukan dalam menulis pembuka cerpen mulai dari deskripsi orang, deskripsi tempat, deskripsi suasana, atau dimulai dari dialog. Seperti beberapa contoh dibawah ini dapat anda simak bagaimana pengarang mengajak pembaca untuk memasuki dunia imajinasinya.
Perempuan itu terhuyung-huyung, lalu sesaat kemudian jatuh tersungkur. Seperti telah menggugah beban nerat dari pundaknya, dia tak sadarkan diri. Tergoleh kalam semak belukar rimba raya yang lebat, dia seolah lelap tertidur. Kelihata kumuh, pakaiannya yang robek- robek, rambut yang acak-acakan, dan tubuh yang tergores-gores, perempuan itu menyiratkan kecantikan yang perkasa. Telapak kakinya yang merah jambu pecah-pecah. Disana-sini berdarah. Kuku-kuku jari kaki dan tangannya yang memanjang tentunya dapat dihentikan pertumbuhannya. Dia juga tidak berhasil menyembunyikan tubuhnya indah, bahkan ketika tubuh itu tak sempat lagi dirawat. Setiap langkah dalam setiap saat baginya merupakan waktu yang sangat menentukan jalan hidupnya
Kutipan pembuka cerpen di atas merupakan deskripsi orang. Mulai dari penggambaran kecantikannya sampai dengan kecantikannya yang tidak terawat.

Perhatikan contoh di bawah ini.
Dari Jakarta yang sangat panas, penuh dengan gedung pencakar langit, penuh polusi, dan juga gudangnya copet. Kinni aku berada di Ra`as, sangat primitive sekali, mulai dari jalan Makadam sampai dengan bangunan rumah. Sepengetahuanku, tak ada yang namanya nagunan rumah tingkat disana.
Pembuka cerpen di atas, merupakan pembuka yang menggunakan deskripsi tempat. Mulai dari Jakarta yang sangat panas sampai dengan Ra`as yang tak ada bangunan bertingkat. Dari deskripsi tersebut sudah terasakan adanya konflik, yaitu konflik yang dibangun oleh masalah (budaya) tempat. Konflik tokoh dibangun melalui konflik tempat.
Perhatikan contoh pembuka cerpen di bawah ini yang menggambarkan suasana.
Nayla melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam lima petang. Namun, langit begitu hitam. Matahari sudah lama tenggelam. Ia menjadi muram seperti cahaya bulan yang bersinar suram. Hatinya dirundung kecemasan. Apakah jam tangannya mati? Lalu jam lima petang. Jam pada ponselnya pun menunjukkan jam lima petang. Ia memijat nomor satu nol tiga. Terdengar suara operator dari seberang, “Waktu menunjukkan pukul tujuh belas, nol menit, dan dua puluh detik.” Lalu manakah yang lebih benar. Petunjuk waktu atau gejala alam? (Waktu Nayla, Cerpen terbaik pilihanKompas 2003, karya Jenar Maesa Ayu).
Cara menulis pembuka cerpen bisa melalui deskripsi orang,tempat, waktu, atau suasana. Contoh di bawah ini.
2). Cara menulis tokoh yang hidup
Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar . ia ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang kurang ajar. Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk pengaman. Ia ingin bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. Ia ingin berjemur di tepi pantai dengan tubuh telanjang. Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin berhenti minnum jamu susut perut dan sari rapet. Ia ingin memelihara anjing, kucing, babi, penguin, panda, dan beruang masing-masing satu pasang. Ia ingin makan soto betawi sekaligus dua mangkok besar. Ia ingin berhenti hanya makan sayur dan buah-buahan waktu malam.
Kutipan cerpen di atas menggambarkan tokoh yang hidup, mengapa? Hal ini di sebabkan tokoh Nayla seperti benar-benar hidup. Ia merasa jengkel dengan suaminya. Ia berkeinginan untuk bebas. Jadi, karakter (psikologi) sang tokoh benar-benar terbangun. Sebagai seorang penulis cerpen, tokoh-tokoh yang Anda bangun juga harus sesuai dengan kenyataan, yakni antara lain dengan memunculkan gairah hidup tokoh yang berhubungan dengan banyak hal di sekitarnya.
Cerpen yang enak di baca adalah cerpen yang mengandung dialog 10 sampai 50 persen. Kurang dari 10 persen akan membekukan cerpen tersebut menjadi lamban, berat, dan serius. Sebaliknya, jika gaya penulisan obral dialog (50 persen ke atas) membuat cerpen tersebut menjadi ringan dan cengeng. Lebih lanjut Diponegoro menyatakan bahwa dialog mempunya empat fungsi, yakni: (1). Mengungkapkan watak tokoh cerita, (2). Menunjuk emisi pembicara, (3). Memberi plot, dan (4). Memunculkan konflik atau pendenkya menggerakkan plot.
Dialog tokoh memang sangat diperlukan dalam menulis cerpen, supaya cerpen tidak beku atau kering. Contoh di bawah ini mengajak Anda untuk memasuki wilayah konflik melalui pintu dialog tokoh.
Ibu yang sejak tadi menangis terisak, langsung menubruk tubuhku. Kurasakan air matanya yang hangat menetes dipipiku.
“Tinggalkan kami banjingan tua!” kutuk ang ibu dengan sangat gemetar.
Bapak terasa sinis. “justru kamu yang harus pergi. Aku tak ingin anakku dididik pelacur malang seperti kamu.”
“Bagaimanapun dia anakku. Aku yang mengandungnya. Kau tidak lebih dari pejantan…”
“Dasar mulut ember! Kamu mestinya merasa bersyukur karena Aku….!”
Melaui kutipan diatas, penggambaran tokoh benar-benar hidup. Melalui kutipan cerpen tersebut dapt di ketahui bagaimana perwatakan atau karakter tokoh bapak yang sinis, pemarah, dan juga penghujat; dan perwatakan sang ibu yang ketakutan menghadapi suaminya. Kedua tokoh tersebut melalui konflik dialog seolah benar-benar ada.
3). Cara Menulis Alur yang Hidup
Alur adalah rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya sastra. Alur dapat di buat melalui jalinan waktu, maupun hubungan sebab akibat. Alur secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian, yakni awal (perkenalan), tengah (konflik), dan akhir (penyelesaian). Jika membuat cerpen sebaiknya menggunakan tiga bagian tersebut, agar tulisan menjadi hidup. Ketiga hal ini merupakan tiga pilar utama yang harus diperhatikan dalam menulis cerita. Persentase menyajikan ketiganya dalam bercerita berbeda-beda, bergantung kepada suasana haati, masalah yang di utarakan, kebutuhan, atau misi tersembunyi yang sudah terhayati dengan baik.
4). Cara Menulis Latar
Latar adalah sarana yang utama dalam menulis cerita karena dari latarlah kemudian muncul tokoh, dan dari tokok kemudian muncul konflik sehingga terciptalah alur/cerita. Karena itu pemahaman latar melalui nilai-nilai informatiF 9 Informasi mengenai banyak tempat), emotIf (menghayati), dan ekspresif (mengungkapkan kembali demi kepentingan cerita) sangatlah penting. Penulis cerita tidak akan dapat menulis kalau didalam imajinasinya tak ada gambaran latar cerita. Baik yang bersifat geografis, budaya, atau yang sabgat abstrak sekalipun. Misalnya sebuah deskripsi latar yang berhubungan dengan kota Surabaya, sangatlah menarik bila penulisnya dapat mengetahui informasinya, menhayatinya, dan memiliki ketrampilan untuk menggambarkannya. Deskripsi Jalan Pemuda di Kota Pahlawan itu dapat kita rasakan pada contoh di bawah ini.
Jalan Pemuda memiliki gengsi tertentu. Hal ini disebabkan jalan ini memiliki sejarah panjang yang berhubungan dengan Belanda, jepang, dan penguasa pribumi. Di jalan itu ada rumah tempat tinggal orang nomor satu do Provinsi Jawa Timur. Baik dimusim hujan atau kemarau, rumah gubernur sngat enak dilihat. Orang-orang yang lewat didepannya senantiasa merindukan untuk suatu saat dapat tidur atau tertidur di situ, betapa asiknya.
Kutipan cerpen di bawah ini mengungkapkan latar cerpen yang ketat dan padat. Hal ini di sebabkan sang pengarang mampu memedatkan latar yaitu detil rumah sakit tanpa membuat detil-detil panjang yang akan membuat pmbaca menjadi jenuh. Kalimat pertama yaitu, “rumah sakit itu rasanya menebarkan arus kematian,” merupakan pemicu utama pada emosi pembaca yang pada umumnya memiliki obsesi perihal “arus kematian”. Kalimat yang lainnya hanya sekedar penjabar kalimat utama yang obsesional tersebut.
Rumah sakit itu rasanya menebarkan arus kematian. Terasa pada tengkuk dan telapak tangan yang dingin. lorong-lorong yang lenggang mengantarkan jenazah yang bergulir sendirian. Bau obat pengepel lantai yang menelan nasi bungkus pada kemasan air minum yang  kemps. Barangkali di ranjang sebelah seorang pasien sedang bergulat dengan Malakat Izrail (Kacapiring, 2003, Danarto).



5). Cara Menulis Penyelesaian Cerita
Secara garis besar penyelesaian itu ada tiga jenis, yakni senag, sedih, dan bergantung. Permainan emisi dalam akhir cerpen bergantung daari kehendak penulis atau tekanan teks yang sudah mengejala kuat selama proses penulisannya.
Penyelesaian yang Menyedihkan
Akhirnya, aku dan orang tuaku bertemu kembali, setelah beberapa tahun aku mencarinya. Betapa berhubungan hatiku kini. Bersatu dengan orang tuaku. Kini, kuatk ingi orang memisahkanku dari orang tuaku.

Penyelesaian yang Menyedihkan
Air mata itu mengalir deras sekali. Dilihatnya sosok sang suami terbujur kaku. Dua buah lubang peluru masih terlihat jelas di kedua belah dadanya. Sekarang tak ada lagi yang akan menemaniku tertawa bersenda gurau, sebab suamiku telah pergi meninggalkanku terlebih dahulu.
Penyelesaian yang Menggantung
Tak ada pasar. Tak ada tegur sapa. Tak ada senyum. Orang-orang curiga ketika daun pintu dan jendela rumah Markonah tertutup berhari-hari. Berminggu-minggu. Dan para tetangga lantas menemukan jawaban kepastian dari secarik kertas di sisi jasad yang terbujur kaku: demikianlah Allah telah memberiku anugerah. Amalkan bekal agama bagi kedua anakku, kutanamkan pengertian sebagaimana nabi menyuruhku untuk menjadikan hitam atau putih. Andaikan pada akhirnya membentakan jarak seperti cadar gelombang antara gelombang antara perahu Nuh dan Kan`an, maka aku rela menjadi Kan`an. Bagiku Allah telah amat mengerti….
6). Cerpen adalah salah satu bentuk karya sastra (fiksi) sehingga dalam penggunaan bahasanya akan berbeda dengan karya tulis ilmiah. Untuk itu dalam menggambarkan bahasa sastra, Wellek dan Warren (1995:14) memperbandingkan bahasa sastra dengan bahasa ilmu. Bahasa ilmu sedikit sekali mengandung unsur ekspresif, sedangkan dalam bahasa sastra unsure ekspresiflah yang dominan.
Berdasakan beberapa pernyataan pernyataan di atas berkaitan dengan bahasa sastra dapat penulis kemukakan bahwa bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra, terlebih cerpen, menggunakan bahasa yang `bersayap` cenderung konotatif dan ambigu. Bahasa tersebut menjadikan cerpen menjadi hidup, tidak kering, dan berseni. Misalnya `melihat langit pagi` dengan `melihat langit pagi yang cerah` terasa berbeda karena yang terakhir memiliki sayap. Perhatikan contoh di bawah ini.
“Di malam itu, bulan terang benderang. Akankah bulan terang selamanya. Tidak, sebab besok ia sudah hilang diganti oleh pagi.”
Kutipan di atas terasa kering. Mengapa? Tidak ada bahasa bersayap yang dominan. Hal ini kurang merangsang kreativitas pembaca untuk berimajinasi.
Bedakan dengan kutipan di bawah ini.
“Malam itu bulan masih perawan. Senyumnya yang segar menyapaku dengan kelembutan sorgawi. Ya bulan akankah senyummu tetap segar dan abadi. Tidak, pagi akan mencuri senyummu yang segar itu. Seandainya saja pagi tiada, kau pasti akan terus tersenyum dan tersenyum.”
Kutipan di atas terasa hidup, tidak kering dan bersemi. Kata-kata bersayapnya dapat dirasakan. Penggunaan bahasa `bersayap` disebut juga dengan majas. Dalam cerpen majas yang produktif dan banyak digunakan yaitu majas personifikasi.
Penilaian terhadap sebuah cerpen bukanlah hal mutlak menilai dari segi benar atau salah karena cerpen adalah karya sastra. Untuk itu ketika membicarakan karya sastra aneka ragam tafsir harus.Tidak ada tafsir tunggal terhadap karya sastra. Guru harus terbuka terhadap pendapat siswa yang berbeda, sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam kerang berfikir logis. Dalam hal ini kelas sastra adalah kelas pendidikan demokrasi, yaitu mulai memperkenalkan perbedaan pendapat dan belajar menghargai pendapat orang lain.
Menurut Sumardjo  untuk menilai sebuah cerpen, kita dapat membuat garis besar pedomannya. Pedoman ini bersifat umum, artinya kita menempatkan cerpen itu sebagai suatu bentuk yang seharusnya menurut aturan konvensi yang telah ada. Tentu saja banyak cerpen yang berusaha merombak konvensi yang telah ada, karena itu telah menjadi sifat abadi kesenian yang selalu berusaha mencari pembaharuan-pembaharuan di segala segi. Tetapi bagaimana juga sebuah pembaharuan tidak bisa melepaskan diri dari bentuk-bentuk yang seharusnya ada. Yang terpenting adalah suatu kesan apakah cerpen itu berhasil embentuk kesatuan dalam dirinya. Mungkin saja ada suatu unsur yang dihilangkan, tetapi unsure itu akan terasa menyatu dengan unsure yang lain, misalnya plotnya tetapi akan terasa pada karakternya.[50]
Jadi pedoaman ini tidak berfungsi sebagai kunci pas, ia bisa longgar seperti gep atau tang atau kunci inggris. Ia bisa diterapkan untuk jenis cerita konvensional maupun ekspremintal. Hanya dengan sendirinya tidak seluruh rahasia cerita pendek bisa dibuka dengan kunci pedoman ini, selalu ada yang belum terjelaskan, belum terjawab dari sebuah karya seni yang berhasil, selalu ada yang lepas dari jemari kita. Inilah yang menyebabkan mengapa sebuah karya selalu menarik, kita selalu ingin membavanya berulang-ulang. Selalu ada semacam misteri yang sukar bagi kita untuk mengungkapkan dan mendefinisikannya. Tetapi setidak-tidaknya pedoman ini akan menolong kita dalam usaha memahami dan menagkap maksud dari beberapa isi sebuah cerpen.
Setiap orang bisa menambah sendiri garis pedomannya, makin banyak yang dia ajukan, makin baik. Artinya bahwa ia menuntut banyak dari sebuah karya yang berhasil, dengan banyaknya tuntutan maka akan lebih banyak pula menghisap makna dari sebuah karya sampai setuntas-tuntasnya.
Tarigan  mengungkapkan bahwa untuk menilai suatu cerita pendek dapat dilakukan mengkaji beberapa unsur pembangunnya, yaitu (1) tema, (2) alu, (3) penokohan, (4) latar, (5) bahasa, (6) sudut pandang,(7) amanat.[51]Sumardjo  merumuskan beberapa pernyataan yang hendaknya dipakai dalam usaha memahami sebuah cerpen, sehingga bisa memulai apakah cerpen itu gagal atau berhasil atau istimewa.
  1. Apakah kesan pertama yang mencolok yang kita peroleh dari cerpen ini?
  2. Apakah sebenarnya yang menjadi tema cerita dari cerpen ini?
  3. Apakah tema yang kita temukan itu berhasil menorganisir seluruh unsure cerita sehingga karya ini merupakan sebuah kesatuan yang organis, yang hidup?
  4. Bagaimana pengarang mempergunakan adegan-adegan, kiasan-kiasan, symbol-simbol dalam perkembangan tema?
  5. Apakah tujuan pengarang menulis ceritanya ini?
  6. Bagaimana pengarang memilih detail untuk melukiskan karakter cerita?
  7. Teknik apa yang dipakai pengarang untuk menunjukkan sifat-sifat watak pelaku utamanya?
  8. Apakah dialog dipergunakan secara efisien dan menarik?
  9. Bagaimana pengarang menyelesaikan konflik pemecahan dan alternatif dari pelaku utamanya?
10.  Konfli-konfli manakah yang membentuk terjadinya cerita?
11.  Dimana letak klimaks cerita ini?
12.  Apakah urutan waktu memang punya fungsi dalam plot?
13.  Bagaimana pengarang menggunakan tiga elemen utama cerita, yakni: a). kesatuan, b). keringkasan, dan c). dramatik.[52]

Aspek yang dinilai dalam karangan narasi bedasarkan Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Sistem Penilaian Kurikulum  adalah ide cerita, alur cerita, penokohan, pilihan kata, dan pesan penulis. Secara jelasnya terdapat dalam tabel di bawah ini.[53]
Tabel 2.4
Tabel Penilaian Karangan Narasi (cerpen)
No.Aspek yang dinilaiPenilaian
Bagus      Cukup     Kurang
Keterangan
1.Ide cerita
2.Alur cerita
3.Penokohan
4.Pilihan kata
5.Pesan penulis
Keterangan :
Berilah tanda v pada keterangan penilaian.
  1. Bagus apabila hal-hal yang ditampilkan dalam cerita tersebut utuh dan mewakili keseluruhan unsure narasi.
  2. Cukup apabila separuh dari keseluruhan aspek narasi dapat dimunculkan
  3. Kurang apabila baru hanya satu unsure aspek yang dinilai muncul dalam paragraf.
Sekait dengan penelitian yang penulis lakukan, aspek penilaian yang dipergunakan untuk cerpen karya siswa disesuaikan dengan Kompetensi dasar (KD) nomor 16.1 dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu aspek pelaku, peristiwa, dan latar. Alat ukur penilaian cerpen ini, penulis dipergunakan sebagai salah satu instrument penelitian seperti dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.5
Instrument Penilaian Kemampuan menulis Cerpen
Nama Siswa :
Judul Cerpen :
NoAspek yang dinilaiPenilaianketerangan
SBBCBKBTB
1.Pelaku      
2.Peristiwa atau Alur      
3.Latar      

Keterangan:
Berilah tanda v pada keterangan penilaian.
  1. Sangat baik (SB) apabila hal-hal yang ditampilkan dalam cerpen tersebut utuh mewakili keseluruhan criteria atau rambu-rambu penilaian cerpen.
  2. Baik (B) apabila hal-hal yang ditampilkan dalam cerpen tersebut mewakili sebagian besar kriteria atau rambu-rambu penilaian cerpen.
  3. Cukup baik (CB) apabila hal-hal yang ditampilkan dalam cerpen tersebut mewakili sebagian kriteria atau rambu-rambu penilaian cerpen.
  4. Kurang Baik (KB) apabila hal-hal yang ditampilkan dalam cerpen tersebut mewakili hanya sebagian kecil kriteria atau rambu-rambu cerpen.
  5. Tidak Baik (TB) apabila keseluruhan yang ditampilkan dalam cerpen tidak sesuai dengan criteria atau rambu-rambu penilaian cerpen.
kriteria atau rambu-rambu penilaian cerpen karya siswa yang penulis pergunakan sebagai pedomanpenilaian, yaitu berdasarkan pandangan para ahli pada bagian 2.3 tesis ini. Kriteria atau rambu-rambu penilaian tersebut tergambar di bawah ini.
  1. Pelaku
    1. Penokohan dalam cerpen berhasil memenuhi aspek kewajaran seperti dalam kehidupan sehari-hari atau penokohan yang digambarkan ada relevansi dengan kehidupan sehari-hari.
    2. Pelukisan karakter tokoh berhubungan antara tokoh dengan penokohan, misalnya tokoh protagonist sebagai pelaku utama sangat baik begitupun sebaliknya.
    3. Keberadaan tokoh berhasil mengangkat perkembangan alur cerita.
    4. Penokohan berkarakter kuat dapat mengaduk-aduk atau mempermainkan emosi pembaca.
    5. Watak pelaku jelas kekhasannya, kelihatan perbedaan atau pertentangannya dengan pelaku lain dan wataknya digambarkan dengan hidup sehingga pembaca dapat membayangkan dalam angan-angannya.
    6. Penggambaran watak tokoh sangat jeli, terperinci, dan menarik, di gambarkan dengan menggunakan lambing atau symbol yang menguatkan cerita.
    7. Peristiwa
      1. Jenis pembuka yang digunakan (deskripsi orang, tempat/suasana, atau dialog) berhasil membangun suasana cerita yang dikisahkan penulis.
      2. Alur jelas adanya kesatuan dan ceritanya logis.
      3. Peristiwa yang diceritakan menyajikan sesuatu yang baru, menarik, dan merangsang pembaca.
      4. Rangkaian peristiwa dapat membangun klimaks cerita.
      5. Peristiwanya menarik digambarkan dengan menggunakan lambing atau simbol yang menguatkan cerita.
      6. Jenis penyelesaian yang digunakan (senang, sedih, menggantung) ampu menciptakan suasana cerita yang dikisahkan penulis.
C. Latar
  1. Latar yang diceritakan menyajikan sesuatu yang baru, menarik, dan merangsang pembaca.
  2. Latar dalam cerita tajam dan jelas sesuai dengan suasana, budaya, social, ekonomi, politik yang mencerminkan keadaan (warna lokal) peristiwa yang diceritakan. Misalnya ceritanya terjadi di Indonesia, sehingga dapat membenarkan dan memberikan kesaksian bahwa memang di sanalah terjadinya peristiwa itu.
  3. Penggambaran latar sangat jeli dan terperinci mampu menciptakan suasana cerita yang dikisahkan penulis.
Pemaparan analisis cerpen ini disajikan untuk membeikan master analisis cerpen yang akan digunakan sebagai contoh menganalisis cerpen siswa dalam menerapkan teknik kolaborasi dalam pembelajaran menulis cerpen. Penulis menyajikan dua contoh analisis cerpen yang sebagai perbandingan antara cerpen yang sudah mewakili criteria penilaian cerpen dan yang masih belum memenuhi kriteria penilaian.
  1. Hakikat Model
Secara kaffah, Meyer.WJ dalam Trianto mengatakan bahwa model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mereprentasikan sesuatu hal.Sesuatu yang nyata dan dikonversi untuk sebuah bentuk yang lebih konprehensif.[54]
Adapun Soekamto, dkk dalam Trianto  mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah: “kerangka koseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. “dengan demikian, aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.[55] Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak dalam Trianto  bahwa model pembelajarn memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar.[56]
Arends dalam Trianto menyatakan, “The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, syntax, environment, and management system.”[57]Istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya.
Menurut Kardi dan Nur dalam Trianto mengatakan bahwa Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur.Model pengajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau strategi. Ciri-ciri tersebut ialah:
(1). Rasional teoritis logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya;
(2). Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai);
(3). Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan
(4). Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembejaran itu dapat tercapai.[58]
Istilah model pembelajaran meliputi pendekatan suatu model pembelajaran yang luas dan menyeluruh.Contohnya pada model pembelajaran berdasarkan masalah, kelompok-kelompok kecil siswa bekerjasama memecahkan suatu masalah yang telah disepakati oleh siswa dan guru.Ketika guru sedang menerapkan model pembelajaran tersebut, seringkali siswa menggunakan bermacam-macam keterampilan, prosedur pemecahan masalah dan berpikir kritis.Model pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi oleh teori belajar konstruktivis.Pada model ini pembelajaran dimulai dengan menyajian permasalahan nyata yang penyelesaiannya membutuhkan kerjasama di antara siswa-siswa.Dalam model pembelajaran inni guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan; guru memberi contoh mengenai penggunaan keterampilan dan strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat terselesaikan. Guru menciptakan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh siswa.
Model-model pembelajaran dapat diklarifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya.Sebagai contoh pengklarifikasian berdasarkan tujuan adalah pembelajaran langsung, suatu model pembelajaran yang baik untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar seperti table perkalian atau untuk topic-topik yang banyak berkaitan penggunaan alat.Akan tetapi ini tidak sesuai bila digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep matematika tingkat tinggi.
Sintaks (pola urutan) dari suatu model pembelajaran adalah pola yang menggambarkan urutan alur tahap-tahap keseluruhan yang pada umumnya disertai dengan serangkaian kegiatan pembelajaran. Sintaks (pola urutan) dari model pembelajaran tertentu menunjukkan dengan jelas kegiatan apa yang harus dilakukan oleh guru atau siswa. Sintaks (pola urutan) dari bermacam-macam model pembelajaran memiliki komponen-komponen yang sama. Contoh, setiap pembelajaran diawali dengan upaya menarik perhatian siswa agar terlibat dalam proses pembelajaran. Setiap model pembelajaran diakhiri dengan merangkum pokok-pokok pelajaran yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru.
Tiap-tiap model pembelajaran membutuhkan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit berbeda.Misalnya, model pembelajaran kooperatif memerlukan lingkungan belajar yang flegsibel seperti tersedia meja dan kursi yang nudah dipindahkan.Pada model pembelajaran diskusi para siswa duduk dibangku yang disusun secara melingkar atau seperti tapal kuda.Sedangkan model pembelajaran langsung siswa duduk berhadap-hadapan dengan guru. Pada model pembelajaran koopratif siswa perlu berkomunikasi satu ama lain, tenan dan memerhatikan guru.
Selain ciri-ciri khusus pada suatu model pembelajaran, menurut Nieveen dalam Trianto mengatakn bahwa suatu model pembelajaran dikatakan baik jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Pertama,sahih (valid). Aspek validitas dikaitkan dengan dua hal, yaitu: (1) apakah model yang dikembangkan didasarkan pada rasional teoritis yang kuat; dan (2) apakah terdapat konsistensi internal. Kedua, praktis. Aspek kepraktisannya hanya dapat dipenuhi jika: (1) para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat dikembangkan dapat diterapkan; dan (2) kenyataan menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan.Ketiga, efektif. Berkaitan dengan aspek efektivitas ini, Nieveen memberikan parameter sebagai berikut: (1) ahli dan prakktisi berdasar pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif; dan (2) secara operasional model tersebut memberikan hasil sesuai dengan diharapkan.[59]
Menurut Khabibah dalam Trianto mengatakan bahwa untuk melihat tingkat kelayakan suatu model pembelajaran untuk aspek veliditas dibutuhkan ahli dan praktisi untuk memvalidasi model pembelajaran yang dikembangkan.Sedangkan untuk aspek kepraktisan dan efektivitas dipeerlukan suatu perangkat pembelajaran untuk melaksanakan medel pembelajaran yang dikembangkan sehingga untuk melihat untuk melihat kedua aspek ini perlu dikembangkan suatu perangkat pembelajaran pembelajaran untuk suatu topic tertentu yang sesuai dengan model pembelajaran yang dikembangkan.Selain itu dikembangkan pula instrumen penelitian yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan.[60]
Arends dalam Trianto mengatakan bahwa menyeleksi enam model pengajaran yang sering dan praktis digunakan guru dalam mengajar, yaitu; presentasi, pengajaran langsung, pengajaran konsep, pembelajaran kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah, dan diskusi kelas. Arend dan pakar model pembelajaran yang lain berpendapat, bahwa tidak ada satu model pembelajaran yang baik, apabila telah diuju cobakan untuk mengajarkan materi pelajaran tertentu.[61]Oleh karena itu, dari beberapa model pembelajaran yang ada perlu kiranya diseleksi model pembelajaran yang mana paling baik untuk mengajarkan suatu materi tertentu.
Dalam mengajarkan suatu pokok bahasan (materi) tertentu harus dipilih model pembelajaran yang paling sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh Karena itu, dalam memilih suatu model pembelajaran harus memiliki pertimbangan-pertimbangan.Misalnya, materi pelajara, tingkat perkembangan kognitif siswa, dan sarana atau fasilitas yang tersedia, sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Selain model tersebut di atas dalam melaksanakan pembelajaran berbasis kompetensi, dikembangkan pula model pembelajaran seperti learning strategis (strategi-strategi belajar), pembelajaran berbasis inkuiri, active learning, quantum learning, dan masih banyak lagi model-model lain yang semuanya dapat digunakan untuk memperkaya pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi di kelas.
  1. 6. Hakikat Kooperatif Jigsaw
Teori konstruktivisme adalah teori yang melandasi pembelajaran kooperatif. Pada dasarnya pendekatan konstruktivisme dalam belajar adalah suatu pendekatan di mana siswa harus secara individual menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada, dan merevisinya bila perlu. Dengan demikian guru harus dapat merangsang dan menberikan dorongan untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas), sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar.
Pendekatan konstruktivitisme lebih mengutamakan siswa yang dihadapkan pada masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan baru kemudiandengan petunjuk guru diharapkan dapat menemukan bagian-nagian yang lebih sederhana atau keterampilan dasar yang dituntut. Sehubungan dengan hal tersebut, teori konstrukturisme, materi atau pelajaran baru harus disambungkan dengan konsepsi awal siswa yang sudah ada atau membungkar konsepsi lama dan membangun kembali (jika konsepsi terlalu menyimpang dari konsep ilmuan). Oleh karena itu dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstrukturisme, mempelajari pokok bahasan baru dimulai dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerangkan ie-idenya agar mereka lebih sadar mengenai konsep yang dimilikinya. Kemudian masing-masing konsepsi awal siswa yang salah atau menyimpang dari konspe yang benar, kadang-kadang perlu diperhatikan materi prasyarat yang dimiliki siswa sehubunhan dengan materi yang akan dipelajari.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Berdasarkan penelitian Piaget yang pertama dikemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. Guru dalam hal ini hanya sebagai fasilitator yang menjembatani siswa kearah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang melaluinya. [62]Dengan demikian guru tidak sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa diberikan kesempatan untuk memperoleh pengalaman dalam menerapkan ide-ide mereka. Agar siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri, guru hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Piaget dan Vygotsky mengemukakan adanya hakikat sosial dari proses belajar dan juga menemukakan tentang penggunaan kelompok-kelompok belajar dengan kempuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan konseptual.
Piaget menekankan bahwa belajar adalah proses aktif dan pengetahuan disusun di dalam pikiran siswa. Oleh karena itu belajar adalah tindakan kreatif dimana konsep dan kesan dibentuk dengan memikirkan obyek dan peristiwa dan bereaksi pada objek dan peristiwa tersebut.
Pandangan Piaget  menyatakan bahwa struktur kognitif (skema) terbentuk pada waktu seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Skema berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan skema yang sudah ada untuk menghadapi pengetahuan baru yang diterima.
Belajar merupakan pengembangan suatu pengertian, baik pengertian spontan maupun pengertian ilmiah.Pengertian spontan adalah pengertian yang diperoleh dari pengalaman seseorang terhadap fenomena alam sehari-hari biasanya diperoleh di luar sekolah.Pengertian ilmiah adalah Pengertian yang didapat dari sekolah dan sifatnya logis. Proses belajar merupakan perkembangan dari pengertian sppontan menjadi pengertian ilmiah.
Pengertian ilmiah tidak datang dalam nentuk “barang jadi” terhadap seseorang tetapi pembentukan pengertian ilmiah memerlukan kemampuan intelektual dari orang tersebut . Oleh karena itu, seseorang memerlukan proses berpikir. Alat yang digunakan dalam proses berpikir adalah bahasa. Bahasa lahir dari aspek social seseorang. Bahasa dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh diri sendiri dan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain. Seseorang akan terus berusaha untuk mengungkapkan suatu pengertian melalui bahasa yang sesuai sehingga dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Melalui interaksi verbal dengan “orang dewasa”, seseorang ditantang untuk lebih mengerti pengertian ilmiah dan mengembangkan pengertian spontannya. Dalam kesempatan itu ia akan berusaha merekonstruksi pengetahuannya yang lebih sesuai dengan konstruksi “orang dewasa”. Proses pembenntukan pengetahuan seperti ini disebut dengan proses eksternal.
Pandangan konstruktivisme  dapat berjalan berampingan dalam proses belajar. Konstruktivisme Piaget menekankan pada kegiatan internal individu terhadap objek yang dihadapi dan pengalaman yang dimiliki orang tersebut, sedangkan konstruksivisme Vygotsky menekankan pada interaksi sosial dan melakukan konstruksi pengetahuan dari lingkungan sosialnya.Kerangka pemikiran ini dapat dituangkan dalam bentuk bagan seperti pada gambar 1.
Gambar 2.1
Proses belajar menurut Pandangan Konstruktivisme
(Sumber : Lorning, 1993)
Berkaitan dengan karya Vygotsky dan penjelasan Piaget, para konstruktivis menekankan pentingnya interaksi dengan teman sebaya melalui pembentukan kelompok belajar.Von Glasesfeld dalam Suparno berpendapat bahwa dengan melalui kelompok belajar memberikan kesempatan kepada siswa secara aktif membuat abstraksi. Kesempatan untuk mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan siswa kepada teman akan membantunya untuk melihat sesuatu dengan lebih jelas bahkan melihat ketidaksesuaian pandangan mereka sendiri.


Model Pembelajaran Kooperatif
Suatu model pembelajaran perlu direncanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Menurut Slavin belajar kooperatif (cooperative learning) merupakan model pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.[63]
Struktur pembelajaran kooperatif mengembangkan system tutor sebaya (peer tutoring) diantara sesame anggota kelompok, karena system ini membantu siswa memahami materi pelajaran yang lebih memungkinkan, melalui bimbingan dan penjelasan rekannya yang secara psikologis dapat meningkatkan interaksi diantara sesame anggota kelompok.
Partnershif (mitra belajar) merupakan pola hubungan antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran kooperatif, artinya guru dan siswa sama-sama sebagai manusia yang aktif mengupayakan peningkatan pengertian dan pengorganisasian pengetahuan. Oleh karena itu, peran guru dalam model pembelajaran kooperatif lebih dominan sebagai organisator dan fasilitator.
Cooperative learning dapat meningkatkan belajar siswa menuju belajar yang lebih baik dan dapat meningkatkan sikap tolong menolong dalam perilaku social.Dengan demikian, diskusi kelompok dengan teman sebaya efektif dilakukan untuk mengatasi permasalahan belajar siswa.
Empat dasar dalam belajar kooperatif  yaitu
  1. Saling ketergantungan
Dalam interaksi kooperatif guru menciptakan suasana belajar yang mendorong anak-anak untuk saling membutuhkan.Interaksi yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan ketergantungan positif.
  1. Interaksi Tatap Muka
Dalam interaksi kooperatif menuntut semua anggota dalam kelompok belajar dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog dan dapat mengembangkan komunikasi yang efisien.
  1. Akuntabilitas individual
Dalam kelompok belajar kooperatif, tiap anggota kelompok dituntut untuk memberikan andil bagi keberhasilan kelompoknya.
  1. Keterampilan menjalin hubungan interpersonal
Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan social seperti tenggang rasa bersikap sopan terhadap teman, mengkritik ide orang lain, berani mempertahankan pikiran yang logis, dan berbagai keterampilan yang bermanfaat untuk menjalin interpersonal secara sengaja diajarkan dan dilatihkan
Berdasarkan lima komponen dasar dalam pembelajaran kooperatif diharapkan siswa memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai individu dan sebagai anggota kelompok untuk bekerja sama pada tugas untuk mencapai tujuan bersama.
Belajar kooperatif (cooperative learning) merupakan salah satu strategi belajar alternative yang merupakan oerbaikan dari kelemahan pengajaran klasikal, tujuannya adalah :
1). Memberi kesempatan setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah,
2).     Mengembangkan sikap social dan semangat bergotong royong dalam kehidupan;
3).     Mendinamiskan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga tiap anggota merasa diri sebagai bagian kelompok yang unsure-insur dasar pembelajaran koopratif yang perlu ditanamkan pada siswa sebagai berikut:
a).      Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama-sama”
b).     Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, disamping tanggung jawabnya terhadap diri sendiri, dalam mempelajari materi yang dihadapi
c).      Para siswa harus berpandangan bahwa mereka harus memiliki tujuan yang sama
d).     Para siswa harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompok
e).      Para siswa akan diberi suatu evaluasi atau penghargaan yang akan berpengaruh terhadapt evaluasi seluruh anggota kelompok
f).      Para siswa akan diberi pertanggungjawaban individual, tentang materi yang dipelajari dalam kelompok kooperatif.
beberapa hal yang perlu dimunculkan dalam melaksanakan pembelajaran kooperatif adalah (1) menciptakan suasana belajar yang bebas dan terbuka, agar siswa merasa leluasa dalam mengemukakan ide atau gagasan, (2) memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk dapat berpartisipasi aktif dan bebas bertanya kepada sesame teman dengan dasar saling menghormati dan tanggung jawab, (3) guru memberikan permasalahan yang berkaitan dengan fenomena alam dan kehidupan sehari-hari yang erat hubungannya dengan materi yang sedang dipelajari, (4) guru memberi tugas lembar kegiatan siswa (LKS) sebagai pedoman siswa dalam menggali gagasan, dan (5) memberikan pujian kepada kelompok yang menunjukkan kerja sama yang baik.
Pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya antara lain (1) memberikan kesempatan kepad siswa untuk menemukan konsep sendiri dan memecahkan masalah, (2) memberikan kesempatan kepada siswa untuk kreativitas dalam melakukan komunikasi dengan dengan teman sekelompoknya, (3) membiasakan siswa untuk bersikap terbuka namun tegas, (4) meningkatkan motivasi belajar siswa, karena interaksi yang berkembang adalah siswa dengan siswa. (5) membantu guru dalam pencapaian tujuan pembelajaran karena langkah-langkah pembelajaran kooperatif mudah diterapkan disekolah, (6) mendorong inovasi guru untuk menciptakan media pengajaran, karena media begitu penting dalam pembelajaran kooperatif.
Sedangkan yang menjadi kelemahannya adalah (1) diperlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan diskusi, (2) seperti belajar kelompok biasa, siswa yang pandai lebih banyak menguasai jalannya diskusi, sehingga siswa yang kurang pandai kurang kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, (3) siswa yang tidak biasa dengan belajar kelompok merasa asing dan sulit untuk bekerja sama.
Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan yang kesempatan yang sama untuk berhasil.
  1. Penghargaan kelompok
Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan
  1. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung pada pertanggungjawaban individu dari semua anggota kelompok.Adanya pertanggungjawaban secara individu, menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya, tanpa bantuan teman sekelompoknya.
  1. Kesempatan yang sama untuk berhasil
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu.Dengan menggunakan metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.[64]
Tujuan pengembangan model pembelajaran kooperatif yaitu untuk mencapai prestasi akademik, penerimaan akan penghargaan dan pengembangan keterampilan social. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif siswa harus dilatih terlebih dahulu tentang keterampilan kooperatif, karena keterampilan kooperatif itu berfungsi melancarkan hubungan kerja dan tugas.Hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antaranggota kelompok, sedangkan pelaksanaan tugas dilakukan dengan membagi tugas antaranggota kelompok selama kegiatan berlangsung.
Ddengan demikian, cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu perilaku membantu sesame dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok terdiri dari dua orang atau lebih dengan keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan setiap individu dalam kelompok itu sendiri.

  1. 7. Hakikat Model Kooperatif Jigsaw
Istilah jigsaw dalam bahasa inggris adalah gergaji ukir atau juga disebut sebagai puzzle yaitu teka teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif jigsaw ini mengambil pola cara bekerja gergaji, yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama.
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam orang secara heterogen dan siwa bekerja saling ketergantungan positif dan bertanggungjawab secara mandiri (Lie, 1999:73). Siswa bekerja dengan sesame anggota kelompok dalam suasana kooperatif dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dam meningkatkan keterampilan komunikasi. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikannya kepada anggota kelompok yang lain.
Gambaran pelaksanaan model belajar kooperatif yaitu siswa diberi soal terdiri dari topic soal yang berbeda untuk masing-masing anggota kelompok. Setelah setiap anggota kelompok selesai membaca, siswa dari kelompok yng berbeda bertemu kelompok ahli untuk mendiskusikan topik yang diberikan selama kurang lebih 30 menit, kemudian ahli-ahli tersebut kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan hasil diskusinya.
Beberapa kegiatan jigsaw yaitu:
  1. Membaca, siswa memperoleh topik-topik permasalahan untuk dibaca, sehingga mendapatkan informasi dari permasalahan dari permasalahan tersebut
  2. Diskusi kelompok ahli, siswa yang telah mendapatkan topik permasalahan yang sama bertemu dalam satu kelompok (kelompok ahli) untuk mendiskusikan topik permasalahan tersebut.
  3. Laporan kelompok, kelompok ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan hasil diskusinya kepada anggota kelompoknya masing-masing
  4. Kuis, siswa memperoleh kuis individu yang mencakup semua topik permasalahan
  5. Perhitungan skor kelompok dan penghargaan
Proses pembelajaran jigsaw menurut Slavin,kelompokmencakup lima tahap. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan oleh guru berdasarkan pertimbangan tertentu.Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok harus bersifat heterogen.
Suatu kelompok dapat bekerja dengan baik apabila jumlah siswa yang bekerja sama dalam masing-masing kelompok dibatasi. Hal ini dilakukan agar masing-masing anggota kelompk dapat bekerja secara efektif.Jumlah anggota kelompok antara 5-6 orang.[65]
Tahap kedua setiap kelompok mendapat materi untuk didiskusikan dengan materi yang berbeda pada setiap anggota kelompok.Setiap anggota kelompok mempelajari dan memahami materi yang diberikan pada setiap anggota kelompok. Setelah itu perwakilan dari masing-masing kelompok bertemu dengan perwakilan dari anggota kelompok yang lain dengan mempelajari materi yang sama. Setiap anggota kelompok berdiskusi dengan mempelajari serta memahami setiap masalah yang dijumpai dan materi tersebut.
Tahap ketiga yaitu setiap siswa peerwakilan anggota kelompok yang ditugaskan untuk memahami materi tertentu kemudian masing-masing perwakilan tersebut kembali ke kelompok semula atau asal.Untuk selanjutnya setiap anggota kelompok tersenut menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman dalam kelompok tersebut dapat memahami materi secara keseluruhan.
Tahap keempat yaitu siswa dalam kelompok mengerjakan tes yang diberikan oleh guru, hal itu dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah dapat memahami suatu matri dengan menggunakan model belajar kooperatif tipe jigsaw.Model belajar kooperatif tipe jigsaw dapat menumbuhkan tanggung jawab siswa serta dapat terlibat langsung secara aktif dalam memehami suatu persoalan dam menyelesaikan secara kelompoknya serta mereka dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dan gurunya.Pada kegiatan ini guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri dan menumbuhkan rasa tanggung jawab.
Tahap kelima adalah memperhitungkan skor perkembangan siswa.Setiap skor yang diperoleh siswa merupakan kontribsi bagi skor kelompok secara keseluruhan. Perhitungan skor berdasarkan perbandingan skor yang diperoleh antara pretes dan postes merupakan cerminan keberhasilan penerapan model  belajar tipe jigsaw. Petunjuk perhitungan skor kelompok menurut Stahl  adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1
Konversi skor Perkembangan
Skor Kuis IndividuSkor Perkembangan
  1. Lebih dari 10 poin di bawah skor awal
  2. Antara 10 poin di bawah skor dasar sampai skor dasar
  3. 1 sampai 10 poin di atas skor dasar
  4. Lebih dari 10 poin di atas skor dasar
  5. Nilai sempurna
0 poin
10 poin

20 poin
30 poin
40 poin

Tahap berikutnya adalah pemberian penghargaan kepada kelompok degan cara menjumlahkan masing-masing skor individu dalam kelompok dan hasilnya dibagi dalam kelompok dengan jumlah anggota dalam kelompok sehingga hasinya mendapatkan skor rata-rata. Dengan demikian kelompok dapat memperoleh penghargaan atau hadiah jika nilai rata-rata kelompok mereka mencapai kriteria yang telah ditentukan, penghargaan diberikan tergantung pada kreattivitas guru. Menurut Slavin menentukan tingkat penghargaan yang diberikan untuk menilai prestasi kelompok adalah sebagai berikut ;





Tabel 2.2
Tingkat Penghargaan kelompok[66]

Rata-rata KelompokPenghargaan
15 poin
20 poin
25 poin
Good team
Great team
Super team
  1. B. Kerangka Berpikir
Pembelajaran keterampilan menulis cerpen melalui model kooperatif jig saw merupakan salah satu bentuk pembelajaran berbahasa dan bersastra. Pembelajaran ini bertujuan agar siswa terampil dalam menyampaikan idenya secara mendetail dan dapat mengembangkan cerita dengan mudah sesuai cerita yang ingin dibangun melalui pembelajaran kooperatif jigsaw  menjadi cerpen yang menarik sebelum siswa menulis cerpen sehingga mereka dapat menulis cerpen dengan baik.
Pembelajaran menulis cerpen dilakukan sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan menulis cerpen karena permasalahan yang dihadapi oleh kebanyakan guru adalah cara mengatasi rendahnya keterampilan siswa dalam menulis cerpen. Untuk mengatasi hal tersebut peneliti melakukan penelitian tentang peningkatan keterampilan menulis cerpen melalaui model kooperatif jig saw. Melalui model kooperatif jig saw siswa dapat mengembangkan cerita sesuai kaidah penulisan cerpen karena melalui model pembelajaran kooperatif jig saw.

  1. C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas,  maka hipotesis tindakan penelitian ini dapat meningkatan kemampuan  menulis cerpen melalui model kooperatif jig saw kelas IX SMP Negeri 161 Jakarta.

  1. D. Hasil Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian mengenai model belajar kooperatif tipe jigsaw dan pembelajaran pemecahan masalah anatara lain dilaporkan oleh Durren dan Cherrington (1992), Ziegler(1981), Slavin (1995), Haryono (2000), Suryadi (2000), Utari (1993), Lazarowitz, Rachel dan Baird (1993).
Hasil penelitian Durren dan Cherrington (1992) menemukan bahwa siswa yang belajarnya menggunakan belajar kooperatif mampu mengingat dan dapat menerapkan strategi pemecahan masalahyang lebih baik daripada cara biasa. Berdasarkan hasil analisis statistic yang dilakukannya dapat dikuantitatifkan bahwa siswa 7% lebih sering menerapkan strategi pemecahan masalah dibandingkan dengan siswa yang belajarnya dengan cara biasa.
Ziegler (1981), dalam Slavin (1995), mengemukakan bahwa penggunaan model belajar jigsaw sangat efektif dengan anggota kelompok dari beragan etnis.
Lei (dalam Heryanto, 2000:30) menyatakan bahwa jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif dan fleksibel.Riset mengenai belajar kooperatif jigsaw secara konsisten menunjukkan bahwa siswa yang terlibat memperoleh prestasi lebih baik dan positif terhadap pembelajaran.
Haryanto (2000) dalam penelitian di kelas II MAN I Jember, menyimpulkan bahwa hasil belajar matematika dan kemampuan memecahkan masalah matematika yang menggunakan model kooperatif jigsaw lebih baik dibandingkan dengan siswa yang menggunakan cara biasa.
Suryadi (2000) menyimpulkan secara keseluruhan proses pembelajaran diperoleh gambaran bahwa diskusi kelompok dapat menumbuhkan optimism guru serta semangat belajar siswa, sehingga pada gilirannya diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika secara lebih nyata.
Hasil penelitian Edward dan De Vries (1972), Johnson dan Waxman (1985), serta Van Quidenhoven (dalam Slavin, 1995:44) menemukan bahwa keuntungan yang diperoleh dalam pembelajaran model kooperatif adalah siswa dapat meningkatkan kemampuan akademik.Siswa dengan tingkat kemampuan rendah yang paling banyak memperoleh keuntungan dari pembelajaran kooperatif.Sedangkan penelitian Webb (Slavin, 1995:44) menemukan bahwa siswa yang memiliki kemampuan tinggi paling beruntung dalam pembelajaran kooperatif karena siswa tersebut paling banyak memberikan penjelasan pada anggota kelompoknya.Penelitian Sharan (dalam Slavin, 1995:44) menyimpulkan bahwa siswa dengan tingkat kemampuan tinggi, sedang, dan rendah sama-sama memperoleh keuntungan dalam pembelajaran kooperatif.Selain itu, hasil penelitian Steven dan Slavin, 1995:43) menyimpulkan bahwa prestasi belajar individu terus meningkat, jika pembelajaran diberi penghargaan kelompok berdasrkan prestasi belajar individu anggotanya.
Lazarowitz, Rachel, dan Baird (1993) meneliti pembelajaran IPA dengan pendekatan jigsaw dan individual pada kelompok belajar tuntas siswa SMA.Hasil penelitian menyimpulkan bahwa siswa pada kelompok jigsaw berkemampuan akademik lebih tinggi secara signifikan, baik pada skor normative maupun patokan.
Slavin dan Arends, (1997 : 118) pada tahun 1986 membuat laporan penelitian prestasi ditinjau dari efek pembelajaran kooperatif yang dilakukan dari tahun 1971 sampai dengan 1986. Beliau mengatakan bahwa tidak ada efek negative dari pembelajaran kooperatif, termasuk penelitian matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Inggreis), membaca, menulis ada peningkatan prestasi akademik secara signifikan.
Hasil penelitian Utari (1993) menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siwa kelas I yang belajarnya dengan model biasa rata-rata sebesar 19,51 atau 30,48% dari skor total.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
  1. A. Tujuan Penelitian
Penelitian tindakan ini memiliki beberapa tujuan yang akan dicapai.  Adapun tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
  1. Mengetahui bagaimanakah meningkatkan kemampuan menulis cerpen melalui metode kooperatif jigsaw.
  2. Mengetahui peningkatann kemampuan menulis cerpen melalui metode kooperatif jigsaw.

  1. B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tindakan ini dilaksanakan di SMP Negeri 161 kelas IX di Jalan Delman Utama I Tanah Kusir Kebayoran Lama Jakarta Selatan.
Penelitian tindakan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan 4 jam pelajaran yang akan berlangsung selama satu semester, pada semester ganjil tahun pelajaran 2011-2012.




  1. C. Metode dan Desain Penelitian
Metode yang digunakan adalah penelitian tindakan. Penelitian tindakan adalah sebuah cara yang dipergunakan untuk mengetahui masalah-masalah nyata yang terjadi dalam situasi belajar dan bagimana cara mengatasi itu agar terjadi peningkatan
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa prosedur dengan menggunakan disain Kemmis dan McTaggart. Menurut Kemmis dan McTaggart, pelaksanaan penelitian tindakan mencakup empat langkah, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi.[67] Jika divisualisasikan dalam bentuk gambar akan tampak sebagai berikut :


PLAN                              REVISEDPLAN                          NEXT PLAN
Desain penelitian yang diterapkan dalam pembelajaran peningkatankemampuan menulis cerpen melalui metode jigsaw di atas dapat dijelaskan seperti pada uraian berikut :
  1. Kegiatan ini dimulai dengan penjajakan awal untuk mendapatkan informasi tentang kondisi awal kebiasaan menulis, khususnya menulis cerpen dan tingkat kemampuan menulis cerpen para peserta. Usaha untuk memperoleh informasi ditempuh dengan menyampaikan kuesioner kebiasaan menulis cerpen dan tes kemampuan menulis cerpen.
  2. Berdasarkan data yang diperoleh melalui tahap penjajakan awal, dilakukan identifikasi masalah untuk membuat perencanaan tindakan peningkatan kemampuan menulis cerpen melalui metode jigsaw.
  3. Pelaksanaan tindakan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan. Pengamatan tindakan difokuskan pada penerapan pembelajaran melalui metode jigsaw dalam upaya peningkatan kemampuan menulis cerpen.
  4. Refleksi merupakan aktivitas perenungan kembali dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran. Melalui kegiatan refleksi diharapkan dapat diidentifikasi pengaruh metode kooperatif jigsaw terhadap peningkatan kemampuan menulis cerpen. Atas dasar refleksi yang dilakukan oleh peneliti dan kolaborator dengan mempertimbangkan berbagai hal dari peserta kemudian dilakukan perencanaan kembali untuk mengoptimalkan tindakan pada siklus berikutnya.

  1. D. Partisipan yang Terlibat dalam Penelitian
Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian tindakan ini adalah siswa SMP kelas IX. Untuk melaksanakan penelitian ini, peneliti bekerja sama dengan dua orang kolaborator, yaitu pengajar pada SMP Negeri 161 Jakarta mata pelajaran bahasa Indionesia.

  1. E. Peran dan Posisi Peneliti dalam Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian tindakan, peran dan posisi peneliti adalah sebagai pengajar. Peneliti bekerja sama dengan kolaborator. Pada posisi ini peneliti menjadi koordinator, fasilitator, dan katalisator pelaksanaan perencanaaan, tindakan pengamatan, dan refleksi terhadap berlangsungnya pembelajaran dan penelitian.dalam hal tertentu, kerja sama juga dilakukan dengan para siswa.

  1. F. Tahapan Intervensi Tindakan
Untuk melaksanakan kegiatan pembelajarn menulis cerpen, dirancang tahapan tindakan, yaitu mengatur kegiatan belajar mengajar yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa.
Pengaturan kegiatan belajar mengajar diwujudkan dalam bentuk skenario pembelajaran yang mengondisikan terciptanya aktivitas jigsaw para siswa dalam menulis cerpen, juga interaksi yang baik antara guru dan siswa, siswa dan siswa.

  1. G. Hasil Intervensi Tindakan yang Diharapkan
Hasil intervensi tindakan yang diharapkan dari penelitian ini adalah peningkatan kemampuan menulis cerpen mahasiswa.Kemampuan menulis cerpen dapat diketahui berdasarkan ketepatan siswa dalam megembangkan tulisan berupa cerpen sesaui dengan kaidah penulisannya.
Untuk mengukur peningkatan menulis cerpen, pada setiap siklus akan digunakan tes menulis cerpen dengan teknik rumpang. Selain denga tes rumpang, untuk melihat peningkatan kemampuan menulis cerpen, dilakukan juga bentuk tes essai (perintah menulis cerpen) setiap siklusnya sesaui kaidah penulisan cerpen.

  1. H. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini mencakup proses pembelajaran dan hasil. Data proses pembelajaran bersumber dari aktivitas interaksi pengajar dan siswa yang dijaring melalui pengamatan, pemberian tugas, kusioner, catatan lapangan, rekaman audio visual. Adapun data bersumber dari hasil pembelajaran yang dijaring melalui tes kemampuan menulis, baik tes rumpang, maupun tes essai.

  1. I. Instrumen-instrumen Pengumpul Data yang Digunakan
Dalam penelitian ini, instrumen-instrumen pengumpul data yang digunakan antara lain, lembar observasi, tes kuisioner, catatan lapangan, dokumen kerja siswa, perekam audio visual, serta kamera.
Sebelum penelitian dilakukan terlebih dahulu harus diketahui sejauh mana instrumen itu dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Oleh karena itu dilakukan uji coba soal yang dilakukan pada siswa kelas IX4. Uji coba soal dilakukan untuk mengetahui hal berikut :
1)      Validitas
Uji validitas dimaksudkan untuk mengetahui secara empiris validitas/kesahihan instrumen penelitian bahwa instrumen yang akan dicapai adalah yang benar-benar digunakan untuk meneliti apa yang sebenarnya diteliti. Validitas suatu instrumen penelitian adalah derajat yang menunjukkan dimana suatu tes mengukur apa yang hendak diukur.[68] Kriteria validitas ditunjukkan dalam table berikut :







Tabel 1
KRITERIA VALIDITAS 4[69]
NoIndeks HargaValiditas
1Antara 0,80 sampai 1,00Sangat Tinggi
2Antara 0,80 sampai 0,79Tinggi
3Antara 0,40 sampai 0,59Cukup
4Antara 0,20 sampai 0,39Rendah
5Antara 0,00 sampai 0,19Sangat Rendah (Tidak Valid)
Di bawah ini hasil uji validitas instrument tes
Tabel 2
REKAPITULASI HASIL UJI VALIDITAS
 
NO
SIKLUS ISIKLUS II
JumlahGugurJml ValidJumlahGugurJml Valid
1




355 ( nomor
14,16,17
18,29)
30356 (3,12
15,16,18,19)
29

2)      Reliabilitas
Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui secara empiris reliabilitas atau kehandalan atau konsistensi instrumen penelitian.Untuk menghitung indeks reliabilitas tes ini maka digunakan metode KR-20.Data-data yang diuji adalah data-data yang sudah valid.
Tabel 3
RELIABILITAS INSTRUMEN TES
NOSIKLUS ISIKLUS II
r
11
R
tabel
Ketr
11
r
tabel
Ket
10,9750,364Reliabel0,9430,364Reliabel

  1. J. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga kelompok teknik, yaitu mengalami (experiencing), mengungkap (enquiring), dan membuktikan (examining).[70]
  1. Mengalami (experiencing)
Dalampenelitian tindakan ini peneliti bersama-sama dengan kolaborator mengamati gejala yang terjadi dalam proses pembelajaran. Fokus pengamatan diarahkan pada perilaku subjek ketika mereka melaksanakan proses belajar mengajar.
  1. Mengungkap (Enquiring)
Pengungkapan dilakukan melalui kusioner, dan pengukuran dengan tes.
1)      Kuesioner
Kuesioner digunakan untuk menjaring informasi tentang implementasi tindakan pembelajaran menulis cerpen melalui metode kooperatif jigsaw menurut pengalaman atau persepsi partisipan.
2)      Tes
Tes digunakan untuk mengungkap kemampuan menulis cerpen.Peneliti menggunakan dua macam tes, yaitu tes rumpang yang digunakan pada setiap akhir siklus, tes pilihan berganda yang dipergunakan pada setiap tindakan.
  1. Membuktikan (examining)
Pembuktian dilakukan dengan mencari bukti-bukti seperti dokumen kerja latihan, catatan lapangan, rekeman audio visual.
1)      Dokumen
Bukti dokumen dalam penelitian ini berupa hasil tes para siswa.Data ini digunakan untuk mendukung perencanaan tindakan, merefleksi, dan menentukan berakhirnya suatu siklus.
2)      Catatan lapangan
Yang dimaksus catatan lapangan dalam penelitian tindakan ini adalah gambaran kenyataan penelitian yang berupa catatan proses yang terjadi dalam pembelajaran menulis cerpen melalui metode kooperatif jigsaw yang dilaporkan oleh kolaborator.
3)      Rekaman audio visual
Rekaman audio visual dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran latar penelitian secara lebih utuh dan lengkap saat pelaksanaan tindakan, baik aktivitas peneliti maupun subjek.

  1. K. Teknik Pemeriksaan Keterpercayaan Studi
Untuk menunjukkan adanya kesahihan data digunakan teknik pemeriksaan keterpercayaan studi dengan mengacu pada kriteria yang disampaikan Mills, yaitu kredibilitas, tranferbilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas.[71]
1)      Kredibilitas, berkenaan dengan kemampuan peneliti dalam memahami dan mengumpulkan datadari situasi yang kompleks dan mengungkap pola-pola yang sulit dijelaskan. Hal ini dapat dicapai melalui penelitian yang cukup, pengamatan secara cermat, bekerja dengan tim, mengadakan triangulasi, pengumpulan dokumen, melakukan pengecekan pada partisipan lain, melakukan penyempurnaan dengan melakukan perbandingan.
2)      Transferabilitas. Penerapan pada situasi lain. Cara ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan data secara rinci sehingga memungkinkan diperbandingkan antara satu konteks dengan konteks yang lain.
3)      Defendabilitas, menunjukkan bahwa data yang diperoleh adalah benar. Dilakukan pengecekan pada beberapa puhak bahwa hasilnya hamper sama dengan overlap methods, mirip proses tringulasi.
4)      Konfirmabilitas, menunjukkan bahwa data yang diperoleh adalah netralatau objektif. Hal ini dapat ditempuh dengan tringulasi, yaitu membandingkan berbagai sumber data dan cara pemeriksaan data dan refleksivitas, yaitu merumuskan pertanyaan dan menyajikan temuan tertentu.[72]

  1. L. Analisis Data dan Interpretasi Hasil Analisis
Analisis data dilakukan selama proses berlangsung terhadap pelaksanaan pembelajaran menulis cerpen yang ditopang dengan deskripsi aktivitas metode kooperatif jigsaw.
Untuk melihat bagaimana meningkatkan menulis cerpen dan peningkatan menulis cerpen dilakukan teknik secara kualitatif dan kuantitatif.Teknik kualitatif digunakan untuk menganalisis bagaimana meningkatkan menulis cerpen yang dijaring melalui observasi.Sedangkan peningkatan menulis cerpen menggunakan teknik kuantitatif melalui tes.Data hasil tes dengan dukungan analisis statistik, berupa tes rumpang dan tes essai.
Untuk menentukan ada tidaknya peningkatan kemampuan menulis cerpen, digunakan tes formatif yang bertujuan untuk mengukur ketuntasa belajar, dalam arti untuk mengetahui apakah siswa sudah mencapai standar minimal (misalnya 80%) yang telah ditetapkan. 6
Dengan merujuk pada pendapat di atas, untuk menentukan terjadinya peningkatan, maka ditetapkan 80% sebagai penetapan ketuntasan menulis cerpen.

Read More